Selasa, 16 Juni 2009

Ujian Nasional

SISWA TAK LULUS UJIAN NASIONAL, SALAH SIAPA?

Oleh Faisal Amri, S.Pd

Guru SMA Negeri 4 Batam

GAWAT pak!!!, 633 orang siswa SMA/MA/SMK di Batam tidak lulus Ujian Nasional, sekolah kita macam mana pak?, apakah Bapak sudah dapat informasi berapa orang yang tidak lulus?. Itulah kali pertamanya telepon saya berbunyi Kamis, 11 Juni 2009. Kebetulan, pagi itu saya piket. SMS pertama saya abaikan, tiga menit berselang, telepon genggam saya berdering lagi, sambil berjalan saya membuka ternyata isi pesan pendek itu lebih miris lagi, bunyinya seperti ini, Bapak..... kami hancur pak, saya merasa, saya ada dalam prediksi 633 yang tidak lulus itu. Gimana ni pak, begitu ia mengahiri sms-nya. Lama saya termenung. Akhirnya saya jawab juga, udah..... itu-kan baru_ prediksi ”nak”.

Informasi tentang hasil akhir Ujian Nasional memang diprediksi antara tanggal 13 sampai 15 Juni 2009 ini. Mendekati keputusan itu, para siswa mulai mencari informasi-informasi di dunia maya. Kebijakan pemerintah yang setiap tahun menaikan standar kelulusan, memang dianggap kurang cerdas dan tidak lazim. Keputusan ini tidak saja merisaukan para pelajar, melainkan para orang tua, guru, sampai pada para politikus yang ada di Senayan. Pemerintah tidak bergeming. Satu-satunya cara meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia adalah menaikan standar kelulusan tiap tahun, dan berhenti ketika sudah mencapai standar kelulusan yang ideal. Mengutip pernyataan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibio diberbagai media. Dengan tegas beliau mengatakan bahwa, pemerintah tetap akan menaikan standar kelulusan Ujian Nasional (UN) setiap tahunnya sampai diperoleh standar kelulusan yang ideal. Masih menurut menteri, standar kelulusan yang ideal untuk pendidikan dasar hingga sekolah lanjutan atas berkisar antara 5,50 hingga 6,00. Mengacu pada Undang-Undang sistem pendidikan nasional (SISDIKNAS) no 20 tahun 2003, ujian nasional memang di amanatkan untuk diadakan tiap tahun.

Peserta ujian nasional dinyatakan lulus jika memenuhi standar kelulusan dengan memiliki rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang di ujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya. Sebagai contoh: Bahasa Indonesia 6.50, Bahasa Inggris 6,50, Matematika 4,00, Fisika/Ekonomi 4,00, Kimia/Sosiologi 4,25 dan Biologi/Geografi 7,75.

Tradisi yang selama ini di anut oleh masyarakat urban adalah, guru dianggap sebagai orang terdepan untuk sebuah pencapaian para peserta didik. Ini sebuah penapsiran yang keliru. Yang semestinya kita sepakati adalah, peran orang tua, pemerintah, guru dan siswa itu sendiri. Sehingga, begitu memasuki hasil akhir kita tidak saling lempar tanggung jawab. Kita sudah bosan dengan paradigma yang berkembang selama ini.

Pemerintah tidak bisa hanya menjadi penentu saja, melainkan juga harus bisa bertanggung jawab. Sebagai contoh, dan maaf, saya melihat pemerintah tiada henti-hentinya ber-eksperimen di tengah jutaan anak bangsa. Kurikulum 2004 kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) baru dipakai secara resmi untuk mengganti kurikulum 1994, tidak lama berjalan, belum lagi sosialisasi merata ke daerah-daerah muncul gagasan baru dari pemerintah yang menawarkan otonomi pendidikan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Anehnya lagi, sentralisasi dan standarisasi UN dilakukan. Alangkah bijaknya, evaluasi pendidikan berupa kebijakan mandiri dari tiap penyelenggara pendidikan, bukan hanya kebijakan birokrat.

Sekedar bernostalgia, dulu kita besar dan beribawa. Tenaga pendidik kita banyak yang menjadi guru dan dosen terbang ke negeri jiran seperti Malaysia dan Singapura. Ingat!, itu dulu. Sekarang kita berdecak kagum dengan perkembangan pendidikan negara tetangga kita itu, bahkan, kita sering dibuat tidak berdaya oleh mereka. Akankah kita bisa menjemput sukses yang dulu?. Jika ini yang menjadi tujuan pendidikan di negeri kita ini, siapa yang tidak ikut bangga, paling tidak, ini bukti bangsa kita masih punya cita-cita. Hal ini bukan tidak mungkin, siapa yang menyangsikan ketangguhan sumber daya manusia Indonesia, dan siapa pula kiranya yang mengatakan negara kita miskin. Kalau kurang cerdas mengelola sumber daya alam, mungkin benar adanya.

Ujian nasional merupakan bagian kecil dari pengukuran kemampuan peserta didik, sedangkan masalah mutu adalah masalah yang komprehensif, tidak hanya di lihat dari kemampuan siswa, akan tetapi juga kwalitas guru, sarana dan prasarana, proses pembelajaran serta input dan lainnya yang ditetapkan dalam standar nasional pendidikan. Untuk mencapai segala sesuatunya memang tidak sedikit bentuk pengorbanan yang harus diperbuat. Salah satunya dari sekian banyak problem pendidikan dewasa ini adalah, pengorbanan perasaan guru, (terlebih guru bidang studi yang di UN-kan) kepala sekolah, sampai kepada kepala Dinas Pendidikan, akan menjadi tumbal bagi kebanyakan orang untuk menilai sebuah keberhasilan. Ada benarnya juga, tapi mestinya di pilah dengan sebuah kalkulasi persentase, sehingga sebuah kesalahan atau penilaian tidak hanya tertumpu pada satu instansi saja. Di sisi lain, pemberitaan atau apresiasi masyarakat menanggapi sebuah kegagalan terkadang juga sangat berlebihan dan tidak masuk akal. Sebagai contoh, jika siswa di suatu sekolah banyak yang tidak lulus, maka kiamat kecil terjadi, guru dianggap tidak berbobot, tidak kompeten dan tidak-tidak yang lainnya, jarang sebuah penilaian itu bisa berimbang. Patut juga dipertanyakan, pernahkah terlintas bagi segelintir orang untuk melihat kegagalan itu secara komprehensif?,

Pertanyaannya adalah; sudahkah memadai sarana dan prasarana dimiliki sekolah?, ditinjau dari segi tenaga pengajar, apakah sudah ada pemerataan secara kualitas dan kuantitasnya?, sudahkah sistim pendidikan kita tertata dengan baik? Atau sudahkah pemerintah menemukan format kurikulum yang baku? Dengan memenuhi semua unsur ini, kesenjangan, ketimpangan dan ketidak adilan di dunia pendidikan akan menjadi barang mahal kita temukan. Artinya lagi, perbaiki sistim pendidikan kita, benahi terus sarana dan prasarananya, tingkatkan kualitas tenaga pengajar, dan terus benahi kesejahteraan guru. Jika ini menjadi prioritas bagi petinggi pendidikan kita, maka, prestasi bisa tumbuh di mana-mana. Atau, silakan saja UN di adakan untuk pemetaan tingkat kwalitas pendidikan di daerah dan nasional, namun bukan harga mati untuk kelulusan.

Mengutip berita Batam Pos Jumat, 12 Juni bahwa hasil Ujian Nasional tingkat SMA/MA/SMK akan diumumkan Senin, 15 Juni 2009. Prediksi terburuk mestilah kita siapkan, sembari berdoa untuk kelulusan. Apapun hasilnya, para guru, orang tua dan anggota masyarakat lainnya, hendaklah menyiapkan kondisi fsikologis anak-anaknya. Siapkan mental mereka untuk menerima kekalahan. Hindari hal-hal yang tidak kita ingini, sikapi dengan baik, dengan tidak saling hujat dan saling umpat. Mari kita sama-sama berdoa dan berbenah, menuju masa depan pendidikan yang lebih baik. Bahkan, silakan saja intervensi dilakukan terhadap guru, namun intervensi yang diberikan adalah menciptakan iklim yang kondusif. Hasil sedang kita tunggu, apapun prediksi tentang UN sah-sah saja. BISMILLAH, 99% sebuah angka yang layak, jika 100% tidak memungkinkan. SEMOGA.

2 komentar:

  1. PAk maaf.. saya ingin mengadakan penelitian di tempat bapak dengan judul "Hubungan tingkat kecemasan menghadapi ujian akhir nasional dengan prestasi belajar yang dicapai pelajar".

    apakah bapak bisa membantu saya dalam melakukan penelitian tersebut pak?

    Nama : GERALD CAESARIO LILIPORY
    MAHASISWA UNIVERSITAS BATAM.

    BalasHapus
  2. email saya. geraldlilipory@yahoo.co.id

    BalasHapus