Jumat, 24 Juli 2009

sekolah gratis

SEKOLAH GRATIS, MAUTAK?
Oleh: Faisal Amri, S.Pd
Guru SMA Negeri 4 Batam

WALAUPUN bapaknya sopir angkot, anaknye bise menjadi pilot. Walaupun Bapaknya loper koran, anaknye bise jadi wartawan. Sekolah gratis, mautak?. Iklan ini mendadak top hingga kepelosok negeri. Pencanangan sekolah gratis yang digelindingkan oleh pemerintah melalui Iklan di layar kaca sangat mengena. Nyaris sempurna jika ditinjau dari sisi bahasa, gaya dan intonasi membuat semua orang mengelus dada sambil berucap Alhamdulillah. Iklan ini telah memberikan berjuta harapan di tengah buruknya mimpi masyarakat Indonesia saat ini. Kenapa tidak, semakin tingginya pengangguran, meroketnya harga bahan pokok, naiknya tarif dasar listrik, tarif air minum yang makin menggila sampai kepada biaya sekolah yang katanya semakin tak terbendung. Seolah-olah permasalahan bangsa ini bak air bah yang tidak bisa dihambat sehingga meluluhlantakan sendi-sendi perekonomian masyarakat kita dewasa ini.
Sekali lagi, dampak iklan sekolah gratis sangat luar biasa. Banyak yang dirugikan dari ketidakjelasan ini. Walikota, Bupati sampai kepada Gubernur telah menjadi sasaran tembak yang empuk. Akan tetapi, tembakan jitu justru mendarat di institusi pendidikan. Dan yang ”kene pelasah” di lapangan adalah kepala sekolah dan majelis guru. Hujat menghujat tidak lagi menjadi barang mahal untuk kita temukan di zaman yang tengah riuh rendah ini. Kita sama-sama tahu, bahwa di kota ini semakin banyak saja orang yang pandai berbicara dan bersikeras minta di dengar suaranya. Terkadang mereka juga suka menikmati suaranya sendiri, akan tetapi tuli dan tidak peduli terhadap suara orang lain. Barangkali ini adalah buah dari sebuah demokrasi yang baru saja dinikmati rakyat Indonesia, setelah sekian lama dipaksa bisu dan terpasung. Maka, mulai dari pangkalan ojek, kedai kopi sampai ke dalam taxi plat hitam, beragam permasalahan bangsa ini di bahas dan di kupas termasuk tema sekolah gratis yang saat ini sedang menjadi sorotan publik.
Jujur saja, iklan ini menyesatkan banyak orang, oleh karena tidak dilengkapi dengan penjelasan yang konkrit, misalnya, apa saja yang digratiskan oleh pemerintah. Hal ini dipandang perlu guna menimalisir kecurigaan antara satu dengan yang lainnya, dan patut disampaikan dengan kalkulasi yang benar agar supaya isu ini tidak menggelinding tanpa arah. Lebih jauh iklan sekolah gratis tidak hanya memberikan harapan kepada mereka yang ingin anaknya bisa sekolah, yang pada kenyataannya jauh panggang dari api. Pertanyaannya, siapa yang hendak kita persalahkan?. Entahlah. Namun yang pasti, mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan tanggung jawab pemerintah. Dilain pihak, kita juga tau, bahwa belum sepenuhnya pemerintah bisa menjalankan amanat itu. Oleh karenanya, kerjasama berbagai pihak, saling bahu membahu yang di ikat dengan sebuah komitmen, maka program wajib belajar 9 tahun ini akan bisa diwujudkan. Sambil berdoa dan berharap akan lahir generasi-generasi handal dengan slogan mereka yang baru, yakni, siap menjadi ”generasi pelurus bangsa” ini.
Teman saya yang juga salah seorang guru pernah berkata ”kita (guru) macam pejabat eselon dua aja sekarang”, ha ha ha, kenapa pula kata saya, saya terpancing pula dengan kata-katanya, ia!!, semenjak wacana bapaknya hanya sopir angkot, anaknya bisa menjadi pilot, kita (guru) dan dunia pendidikan menjadi sorotan masyarakat. Kita di tuduh korupsi, menilep dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan lain-lainnya. Lalu, saya jawab, kita tak usah pula pening memikirkan kata-kata semacam tu, karena kita mengajar di Sekolah Menengah Atas (SMA), kata saya meyakinkan teman saya tadi. Awak tau tak, masih banyak masyarakat yang belum memahami dan beranggapan bahwa, sekolah gratis mulai dari SD sampai dengan SMA. Makanya sebagian masyarakat yang belum paham akan sekolah gratis itu marah ketika ianya harus membeli buku (cetak) pelajaran, buku tulis, baju seragam, baju olahraga, sepatu, kaos kaki, topi, dasi sampai pada uang kas kelas. Alamak jang.....kacau-nye, tapi dalam hal ini masyarakat tak sepenuhnya salah, yang salah itu adalah informasi yang tidak lengkap mereka terima. Iya, pula ye, demikian teman saya sambil berlalu meninggalkan ruangan diskusi menuju kelas.
Menurunnya ketidakpercayaan kepada sekolah dan guru bisa dilihat dari banyak hal. Sebagai contoh, dalam pelaksanaan ujian nasional (UN). Beberapa tahun belakangan ini seperti yang kita ketahui, strategi menaikan mutu pendidikan ala pemerintah adalah dengan menaikan standar kelulusan tiap tahun. Akibat yang muncul adalah saling tekan, intimidasi, sampai pada penilaian masyarakat melihat kegagalan siswa adalah kegagalan guru semata. Jarang masyarakat melihat permasalahan ini secara komprehensif. Dilain pihak, otoritas akademik guru dipangkas dengan masuknya berbagai elemen luar sekolah yang pada prinsibnya tidak berkepentingan dengan pelaksanaan ujian nasional (UN) itu sendiri. Jujur saja, penentuan nasib siswa sekelas ujian nasional (UN) ini membuat instansi terkait dan para guru menjadi sesak napas. Macam-macam kiat dilakukan, seperti belajar sore (pemantapan). Bahkan ada pula sekolah yang memangkas jam mata pelajaran yang tidak di ujian nasionalkan. Keputusan seperti ini telah pula membuat diskriminasi. Artinya, ada mata pelajaran yang penting dan ada yang tidak penting. Intimidasi yang dilakukan pada institusi sekolah dan guru, telah melahirkan berbagai kebijakan yang kurang bijak. Jujur saja, terlalu banyak pengorbanan untuk menjemput sukses ujian nasional ini.

Pungutan Tidak !, Sumbangan Boleh ?

Beberapa kali pemerintah (Mendiknas) menyampaikan bahwa sekolah gratis itu tidak boleh melakukan pungutan kepada orang tua siswa, akan tetapi sumbangan boleh dilakukan kepada orang tua yang mampu. Pernyataan seperti ini tidak menjadi masalah ketika disampaikan kepada kepala dinas, Bupati, Walikota dan Gubernur. Dan tentunya ini akan menjadi masalah besar ketika diterapkan di lapangan oleh institusi sekolah dalam hal ini kepala sekolah dan majelis guru. Mudah ditebak, pihak sekolah dalam hal ini terutama kepala sekolah akan dituduh korupsi, memperkaya diri sendiri. Tidak sampai di situ, di tengah kemajuan informasi dan teknologi saat ini, akses masyarakat kesemua lini tidaklah sulit. Intinya, hanya dengan bermodalkan Rp. 125/sms semua permasalahan yang ada dalam waktu singkat bak meteor terangkat dengan cepatnya kepermukaan. Ke esokan harinya, semua media cetak berdendang, tanggapan demi tanggapan digali oleh sang kuli disket keberbagai pihak, di sisi lain orang yang dimintai tanggapan dan pendapatnya ”tuduh sana tuduh sini”, ”hujat sana hujat sini”. Tidak sampai disitu, tanpa komando acara mimbar bebas-pun mengudara di pagi hari selama dua jam melalui salah satu radio terkemuka di kota ini. Barangkali ini terkesan berlebihan, tapi memang begitulah kenyataannya. Intimidasi yang berlebihan pada salah satu institusi, apalagi kesekolah dan guru saya meyakini tidak akan membuat guru apatis terhadap anak didiknya, tapi yang saya risaukan sejauh mana para guru itu bisa bertahan dari suara sumbang itu. Kita akui guru juga bisa salah.
Paradigma pendidikan semakin tidak jelas. Bagaimana guru memandang murid, sebaliknya, bagaimana pula murid memandang gurunya yang selalu salah di mata orang tua mereka, kemudian apa peran orang tua wali murid dalam proses pendidikan. Karena, sekarang ini sekolah hampir saja bahkan mendekati sebuah lembaga atau yayasan penitipan anak. Segala persoalan yang ditimbulkan oleh kenakalan siswa, yang kemudian ditindaklanjuti dengan surat pemanggilan kepada orang tua siswa, dalam hal ini orang tua menyerahkan penyelesaian kasus anaknya kepada guru. Celakanya, ketika guru memberikan sangsi atas pelanggaran yang telah dilakukan oleh anaknya, justru orang tua tidak menerima dan menilai guru tidak bijak. Ini adalah sebuah paradigma baru yang sedang berkembang dengan mekarnya di tengah kehidupan masyarakat.
Melalui tulisan ini, saya cuma ingin bertutur apa adanya, memotivasi kita semua agar bersama-sama memikirkan solusinya, Harapan kita tentunya generasi pelurus bangsa ini bisa mendapatkan yang terbaik, sekalipun secara finansial masih banyak para orang tua siswa yang tidak mampu secara ekonomi. Semoga saja pemerintah kedepannya memberi bukti nyata, dan tidak lagi menjual mimpi yang telah membenturkan banyak orang. Dilain pihak, kepada masyarakat kita berharap lebih baik ”menjadi orang miskin yang kaya” dari pada ”orang kaya yang miskin”. Untuk itu kata-kata yang pas adalah ” sekolah gratis NO!!, subsidi dana pendidikan ke masyarakat yang tidak mampu YESS!!. Bagaimana, SUAI ?. Selengkapnya...