Rabu, 16 Desember 2009

pendidikan

POTRET PENDIDIKAN PASCA SEKOLAH GRATIS
(Bersempena peringatan hari Guru dan PGRI ke 64)
Oleh: Faisal Amri, S.Pd
Guru SMA Negeri 4 Batam

ENTAH berapa miliar dana yang dihabiskan untuk membiayai iklan “sekolah gratis” yang ditayangkan di stasiun TV nasional selama ini. Sebagai gambaran yang saya kutip dari berbagai media menyebutkan bahwa; biaya iklan mencapai 30-an juta per satu slot (30 detik). Oleh karena iklan ini merupakan program pemerintah dalam rangka mensosialisasikan kepada masyarakat luas, kita asumsikan biaya iklan tersebut mendapat discount. Anggaplah per hari ada 10 slot dengan biaya rata-rata hanya Rp 15 juta per slot. Ada 11 stasiun TV nasional dan kita hanya menggunakan rata-rata 50% nya yakni 55 slot per hari untuk 11 stasiun TV nasional. Maka biaya per hari untuk iklan “sekolah gratis” di TV adalah Rp 825 juta. Seminggu Rp 5.77 miliar lebih dan sebulannya berapa?, silakan ambil kalkulator, pencet, dan kalikan sendiri, saya tahu betapa kepala anda akan bergerak kekiri dan kekanan dengan sendirinya. Sebuah angka yang fantastis bukan?. Ingat, ini hanya iklan sekolah gratis di TV, belum di koran, radio dan media lainnya.
Coba cermati iklan jilid 1 ini, walaupun bapaknya sopir angkot, anaknye bise menjadi pilot. Walaupun Bapaknya loper koran, anaknye bise jadi wartawan. Sekolah gratis, mau tak?. Iklan ini mendadak top hingga pelosok negeri. Lalu apa lacur, iklan sekolah gratis itu oleh sebagian besar masyarakat diartikan bahwa, baju seragam, sepatu, tas sekolah, buku pelajaran, buku tulis bahkan sampai ke transportasi di tanggung oleh pemerintah. Opini sesat ini terus mengalir bak air bah di tengah masyarakat, ianya tidak bisa dibendung. Bahkan, yang membuat kita berdecak kagum, isu sekolah gratis telah melahirkan banyak pahlawan di negeri ini. Sebagai bukti, semakin banyak saja orang yang pandai berbicara dan bersikeras minta di dengar suaranya. Terkadang, mereka juga suka menikmati suaranya sendiri, akan tetapi tuli dan tidak peduli dengan suara orang lain.

Kemudian muncul iklan jilid 2 yang sontak membingungkan masyarakat. Penekanannya iklan jilid 2 ini adalah “pungutan tidak boleh dilakukan oleh pihak sekolah, akan tetapi sumbangan diperbolehkan. Benang merah yang bisa ditarik dari iklan jilid 2 ini adalah secara eksplisit negara besar yang bernama Indonesia ini terbukti dan sangat menyadari sekali, bahwa ianya belum sanggup untuk mewujudkan program sekolah gratis itu. Kalau begitu apa sesungguhnya tujuan iklan sekolah gratis ini di tayangkan?, ENTAHLAH.

Output dari pencanangan program sekolah gratis ini telah terbukti ampuh memprovokasi masyarakat. Hal ini dapat kita lihat, salah satunya adalah ketidak percayaan masyarakat pada institusi terkait. Mirisnya lagi, mulai dari kepala sekolah hingga guru “kene pelasah” di lapangan, oleh karena (telah) di anggap membuat kebijakan yang tidak populer di tengah masayarakat. Kebijakan tidak popular tersebut adalah berupa pembelian baju seragam, buku pelajaran, uang komite dan lain sebagainya. Permasalahan ini semakin runyam ketika masyarakat menganggap sekolah gratis itu mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Sementara temuan di lapangan berbicara lain. Apa yang terjadi?, sangat mudah ditebak, pihak sekolah dalam hal ini terutama kepala sekolah akan dituduh korupsi, memperkaya diri sendiri. Tidak sampai di situ, di tengah kemajuan informasi dan teknologi saat ini, akses masyarakat kesemua lini tidaklah sulit. Intinya, hanya dengan bermodalkan Rp125 per sms semua permasalahan dalam waktu singkat bak meteor terangkat dengan cepatnya kepermukaan.

Ke esokan harinya, media elektronik dan cetak seperti melantunkan tembang kematian, tanggapan demi tanggapan digali oleh sang kuli disket keberbagai pihak, di sisi lain orang yang dimintai tanggapan dan pendapatnya ”tuduh sana tuduh sini”, ”hujat sana hujat sini”. Tidak sampai disitu, tanpa komando acara mimbar bebas-pun mengudara di pagi hari selama dua jam melalui salah satu radio terkemuka di kota ini. Kenyataan seperti ini merupakan buah dari demokrasi yang telah dicapai dengan bersusah payah, bahkan, nyawa taruhannya, itulah yang dilakukan oleh anak negeri ini. Barangkali ini terkesan berlebihan, tapi memang begitulah kenyataannya. Intimidasi yang berlebihan secara terus menerus pada salah satu institusi, termasuk ke sekolah dan guru saya meyakini tidak akan membuat para guru apatis terhadap anak didiknya, tapi kita perlu dan boleh juga risau, sejauh mana para guru bisa bertahan dari suara sumbang itu. Agak aneh dan bahkan lucu memang, bobroknya sistim pendidikan yang ada di negeri ini, seolah-olah hanya karena keteledoran para pendidik semata. Padahal kita semuanya tahu bahwa para pendidik identik dengan para prajurit. Ianya berjalan berdasarkan atas perintah, kebijakan dan jika ada seorang atau dua prajurit melakukan tindakan diluar prosedur, maka ada hukum untuk menyelesaikan benang kusut tersebut. Semestinya ini yang harus kita kawal bersama-sama. Untuk itu, sudah saatnya sebuah peraturan daerah yang mengatur tentang pendidikan dipikirkan oleh pihak-pihak berwenang, agar permasalahan yang muncul tidak selalu itu ke itu saja. Selama belum ada produk hukum yang mengatur tentang semua itu, maka selama itu pulalah mimbar bebas akan terbuka di mana-mana. Di satu sisi kepala sekolah seperti meraba-raba dan menjadi manusia peragu dalam berbuat dan bertindak. Di sisi lain, kepada para pendidik yang separuh haknya diambil oleh sistim, diharapkan untuk tetap bisa menciptakan sumber daya manusia yang handal.
Paradigma pendidikan semakin tidak jelas. Bagaimana guru memandang murid, sebaliknya, bagaimana pula murid memandang gurunya yang selalu salah di mata orang tua mereka, kemudian apa peran orang tua wali murid dalam proses pendidikan. Karena, sekarang ini sekolah hampir saja bahkan mendekati sebuah lembaga atau yayasan penitipan anak. Sebagai contoh, permasalahan yang ditimbulkan oleh siswa, misalnya seperti melanggar tata tertib sekolah atau beberapa hari tidak masuk sekolah yang kemudian ditindaklanjuti dengan surat pemanggilan kepada orang tua siswa. Oleh orang tua kebanyakan, terkesan hanya mencari aman dengan menyerahkan penyelesaian kasus anaknya kepada guru. Celakanya, ketika guru memberikan sanksi atas pelanggaran yang telah dilakukan oleh anaknya, justru orang tua tidak menerima dan menilai guru tidak bijak, luar biasa bukan?. Ini adalah sebuah paradigma baru yang sedang berkembang dengan mekarnya di tengah kehidupan masyarakat kita dewasa ini.
Sangat disayangkan, wacana yang berkembang selama ini, pihak kepala sekolah dan majelis guru selalu berada di pihak yang salah. Jujur saja, kesimpulan ini benar-benar tidak adil, kenapa?, sekali lagi dikatakan bahwa ianya (pendidik) merupakan sebuah mata rantai yang jelas-jelas tidak berdiri sendiri. Mereka tidak dalam rangka membuat kebijakan sesukanya, lalu bermuara dengan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Mestinya, peran dan posisi pendidik akan lebih baik dan bermakna jika dikaji secara jernih dan proporsional. Sudahkah ini dilakukan secara maksimal?.

Perda Pendidikan mungkinkah?

Beragamnya permasalahan yang timbul di dunia pendidikan saat ini, bukanlah barang baru. Bahkan termasuk pengelolaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk SD dan SMP. Runyam dan melebarnya isu sensitif akan permasalahan itu dikarenakan tidak adanya aturan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Kesimpang-siuran kebijakan dari masing-masing sekolah seputar segala pembiayaan yang ditimbulkan, telah menjadi pemicu kegelisahan di kalangan masyarakat. Untuk itu, jika kita punya keinginan dan niat yang sama untuk memajukan pendidikan, lebih jauh agar supaya disparitas satu sekolah dengan sekolah yang lainnya tidak terlalu mencolok, maka diperlukan perda penyelengaraan pendidikan. Adapun kegunaan dari perda ini adalah sebagai pedoman umum bagi pihak sekolah. Paling tidak dengan adanya perda pendidikan akan bisa menjembatani pemahaman masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan. Kita meyakini, kehadiran perda akan menjadi solusi ampuh untuk memperkecil kecurangan yang selama ini disangsikan oleh semua pihak, jikalau memang ditemukan ada pihak atau oknum yang telah membuat kebijakan diluar prosedur. Tidak ada pilihan lain, perda yang mengatur tentang pendidikan merupakan harga mati yang tidak boleh di tawar-tawar lagi, pertanyaannya, mungkinkah?.
Keluh kesah ini saya persembahkan dalam rangka memperingati hari Guru dan HUT PGRI yang ke 64 Republik Indonesia, barangkali kegelisahan yang saya sampaikan mungkin dirasakan juga oleh jutaan guru di negeri ini. Tidak ada tendensi apa-apa, melainkan, saya hanya ingin mengajak dan memotivasi kita semua agar bersama-sama memikirkan solusinya, Harapan kita tentunya generasi pelurus bangsa ini bisa mendapatkan yang terbaik, sekalipun secara finansial masih banyak para orang tua siswa yang tidak mampu secara ekonomi. Semoga saja pemerintah kedepannya memberi bukti nyata, tidak lagi sebatas retorika. Dilain pihak, kepada masyarakat kita berharap lebih baik ”menjadi orang miskin yang kaya” dari pada ”orang kaya yang miskin”. Sedangkan kepada para guru kita berharap, guru tidak hanya pemberi informasi dalam bentuk ceramah dan buku teks, melainkan guru mampu berperan sebagai fasilitator, tutor dan sekaligus pembelajar. Dan yang lebih penting lagi adalah, guru harus bisa membuat para peserta didiknya mempunyai cita-cita. Hanya ini syarat sebuah kemajuan. Seperti kata Robert F. Kennedy, “Kemajuan merupakan kata yang merdu. Tetapi perubahanlah penggeraknya dan perubahan mempunyai banyak musuh.” Selengkapnya...

pariwisata

PARIWISATA DAN SENI PERTUNJUKAN
Oleh: Faisal Amri, S.Pd
Guru SMA N 4 Batam

ESKALASI Visit Batam 2010 dipenghujung tahun ini semakin riuh saja. Prediksi kecemasan, yang berujung pesimistis terkuak bak meteor dibeberapa media. Permasalahan yang diungkai masyarakatpun sangat komplek. Salah satunya adalah, mereka mempertanyakan kepada instansi terkait, apa yang hendak dijual oleh Batam pada program Visit Batam 2010 ini. Kita yakini, pertanyaan ini tidak mengandung tendensi apa-apa, melainkan kegelisahan masyarakat yang memang secara tidak langsung merasa terlibat dalam menyukseskan Visit Batam ini. Di sisi lain, di tengah keterbatasan finansial, dan bahkan sampai dengan sumber daya manusia pihak Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Batam telah berusaha untuk tidak berjalan sendiri, untuk itu, ianya sering mengundang pihak yang berkompeten untuk duduk bersama mencari formula yang pas, sehingga apa yang menjadi target bisa dicapai dengan kalkulasi persentase.

Kurang dari satu bulan, tahun ini akhirnya sampai juga ke garis finis. Program yang telah di tabuh setahun yang lalu siap tidak siap harus tetap diusung. Menyadari hal ini, Ibarat sebuah seni pertunjukan, tentulah tehnik muncul akan menjadi prioritas, mau tidak mau program ini akan benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Oleh karenanya, kepiawaian, kejelian dan kepekaan seorang kreator akan menjadi penentu.

Membahas pariwisata secara tidak langsung kita juga membicarakan masalah seni tradisi serta pelestarian nilai-nilai tradisional itu sendiri. Jika kita posisikan seni tradisional sebagai ikon suatu daerah untuk kepariwisataan di Kota Batam, seolah-olah kita dihadapkan kepada tembok yang tinggi dan besar, sebab melestarikan budaya tradisional saat ini, sama artinya dengan melawan arus tehnologi dan informasi.

Kata pelestarian sudah acapkali kita dengar, melestarikan budaya yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat, apalagi di tengah masyarakat majemuk seperti kota Batam ini tidak bisa selesai dalam pidato serta forum yang panjang dan fantastik. Kita tidak lagi membutuhkan kata-kata gombal yang menyuguhkan beribu tiori, namun yang sangat mendesak untuk dilakukan adalah realisasi dari pelestarian dari nilai-nilai itu. Misalnya, bagaimana kita bisa menghargai seniman tradisi dan menciptakan iklim yang kondusif buat mereka untuk mengembangkan diri sekaligus akan menunjang kreativitas kesenian itu sendiri. Masalah utama yang kita hadapi adalah, kita masih setengah hati untuk berbuat.

Perkembangan seni pertunjukan dalam kaitannya dengan pariwisata haruslah merupakan kegiatan manusia yang memiliki nilai lebih. Dan nilai lebih itu yang seharusnya menjadi daya tarik wisatawan atau penonton untuk menyaksikannya. Artinya, adalah bagaimana kita bisa memberikan informasi, “menjual”, atau “memasarkan” nilai lebih itu kepada wisatawan. Disinilah dituntut “public relation” yang gesit, terampil dan cerdik menawarkan “seni pertunjukannya” kepada calon penontonnya, adalah merupakan seni tersendiri. Jika melihat ke daerah-daerah yang termasuk tujuan wisatawan di Indonesia, pada umumnya suatu daerah tersebut menawarkan kegiatan pesta seni rakyat yang dibungkus dengan tehnik kemasan yang modern. Sehingga pesta seni tersebut tidak hanya diperuntukan kalangan wisatawan mancanegara, akan tetapi juga diminati oleh masyarakat setempat.

Pertanyaannya, Batam hendak membuat konsep seni pertunjukan yang bagaimana?. Mewujudkan keinginan wisatawan?. Mengenai Bali merupakan pengecualian dengan alasan bahwa kesenian di sana menyatu dengan agama serta adat istiadat masyarakat pendukungnya. Lain lagi dengan Irian Jaya sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Sardono W Kusumo (koreografer kondang) mengatakan di Irian Jaya mereka memisahkan antara tarian yang mengacu kepada kepercayaan dan adat dibedakan dengan tarian yang khusus mereka siapkan untuk turis. Dan sekarang, bagaimana dengan perkembangan seni pertunjukan dalam kaitannya dengan pariwisata daerah ini?. Di sini akan muncul faktor tawar menawar (bargaining) yang menentukan apakah seniman yang terlibat dalam seni pertunjukan itu memiliki integritas terhadap nilai-nilai seni atau akan larut kepada budaya hiburan belaka.

Tujuan pariwisata di bidang sosial budaya adalah upaya melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai budaya bangsa. Di lain pihak agama dan adat masih berdiri dengan kokoh dan berakar di tengah masyarakatnya. Oleh karenanya, perkembangan seni pertunjukan, kaitannnya dengan pariwisata di kawasan ini harus tetap mengacu kepada upaya melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai budaya lingkungannya di satu pihak dan juga ruangan bagi seniman untuk berekspresi kreatif, inovatif, dilain pihak, sekaligus menggalakan penonton atau wisatawannya dengan membagi pengalaman estetik sebagai imbalan nilai materi yang berimbang antara seni pertunjukan dan penontonnya, pariwisata dan wisatawannya. Akhirnya perkembangan seni pertunjukan dalam kaitannya dengan pariwisata yang paling ideal adalah saling mengisi secara berimbang, saling menerima dan saling memberi.
Merujuk kepada daerah-daerah lain yang kepariwisataannya baik bahkan boleh dikatakan maju. Di samping kehidupan berkeseniannya yang terkelola dengan baik, masing-masing daerah itu juga mempunyai program dan dukungan dana yang jelas untuk iven-ivennya. Bagaimana dengan kota Batam?.
Perlu kiranya dipikirkan oleh pihak terkait, bahkan, mungkin termasuk salah satu yang diprioritaskan yaitu menciptakan atau menggagas beberapa iven tahunan yang spektakuler yang didukung oleh kesiapan dana dan fasilitas pertunjukan yang memadai. Pernyataan seperti ini bukan berarti selama ini di Batam tidak ada iven. Iven itu ada, tapi tidak diikuti oleh faktor pendukung, maka, akhirnya panitia penyelenggara selalu mengernyitkan jidatnya dengan masalah klasik (finansial). Maka iven yang muncul di Batam terkesan seolah-olah dilakukan setengah hati, setengah duit, setengah perasaan dan setengah-setengah yang lainnya. Maka sebuah kewajaran bila hasilnya juga setengah-setengah, ini idealnya barangkali.

Apa yang hendak dikata. Di tengah situasi serba setengah ini pewarisan nilai tradisi tidak dilanjutkan ke yang muda (berikutnya) dikawatirkan seni tradisi akan punah, tentu akan sulit bagi kita membayangkan kebudayaan Indonesia di masa yang akan datang. Bentuk yang bagaimana yang akan ditemui jika sumber tradisi yang merupakan mata air terbentuknya kebudayaan baru Indonesia tidak mempunyai landasan yang jelas. Sementara proses mem-“barat”nya generasi muda kita terasa sulit untuk dibendung. Dilain pihak, sebuah tradisi mendesak pula untuk di rubah, karena tradisi tersebut tidak dapat memuaskan seluruh pendukungnya, namun, tradisi tidak pula bisa berubah dengan sendirinya, oleh karenanya tradisi memberi peluang untuk di ubah dan membutuhkan seseorang untuk melakukan perubahan itu. Kalau kita mengandalkan orang-orang tradisi untuk melakukan perubahan ini, sudah jelas mereka punya kemampuan yang terbatas dari segi imajinasi, dan keberanian. Putar sana putar sini, akhirnya muara itu tetap ada di Dinas Pariwisata, Dewan Kesenian Kota Batam dan Seniman di daerah ini. Sedangkan aktor utamanya (masalah finansial) tanya sana dengan pembuat dan penggagas perda, mumpung masih segar bugar. Bagaimana pak Guntur, SUAI???

****** Selengkapnya...

Selasa, 11 Agustus 2009

dewan kesenian

Dewan Kesenian Batam, Antara Kecemasan dan Harapan
Oleh Faisal Amri, S.Pd
Guru SMA N 4 Batam

AKHIRNYA, kepengurusan Dewan Kesenian Batam (DKB) periode 2009-2013 dilantik juga. Jujur saja, lima bulan yang lalu sebagian besar seniman yang ada di Batam sempat juga risih dan bertanya-tanya, akankah hasil Musyawarah Seniman Daerah (Musenda) yang di dakan di awal Maret 2009 yang bertempat di Hotel Nagoya Plaza itu akan berlanjut dengan membentuk kepengurusan yang baru?.

Jawaban dari pertanyaan kecil itu menjadi penting. Jika ditanya, kenapa ?, karena mereka-nya sudah sangat lama merindukan pengelolalaan seni itu berjalan sesuai dengan rencana program kerja. Hal ini bukanlah bermaksud mengatakan bahwa, selama ini Dewan Kesenian itu pengelolaannya tidak baik. Untuk melihat keberhasilan serta membandingkan kinerja kepengurusan saat ini kelak, acuan yang mesti dipakai adalah kondisi sekarang, bukan kondisi awal berdirinya Dewan Kesenian yang waktu itu di nahkodai oleh Saptono, yang kemudian digantikan oleh Samson Rambah Pasir. Kalaulah permasalahan klasik itu juga yang diungkai, maka kedepannya Dewan Kesenian Batam akan tetap stagnan.

Dilihat dari kepengurusan Dewan Kesenian Batam jilid tiga ini, ada semacam harapan untuk lebih baik dari sebelumnya. Jujur saja, “penghulu” yang baru punya kekuatan modal untuk itu. Saham itu telah diberikan oleh seniman di daerah ini dengan memberikan suara yang tidak terprediksi sebelumnya. Seperti yang telah kita ketahui bahwa, penghulu yang telah dikukuhkan di Pulau Panjang ini dipilih secara aklamasi oleh semua peserta musenda waktu itu. Suara yang ia dapatkan bak bola, sehingga kemanapun ia digelindingkan tidak menjadi masalah. Dan saya sedikit tau, sekaligus meyakini bahwa sang penghulu ini tidak menggunakan tim sukses, apalagi uang untuk sogok sana, sogok sini seperti layaknya pemilu-pemilu yang baru saja dan berhasil memekak-kan telinga kita. Harapan kita lebih jauh kepada penghulu baru adalah telah menunjuk orang-orang yang pas. Jika ada sedikit ragu-ragu, harap-harap cemas, dan sampai pada pertimbangan matang, agar supaya tidak lahir riak kecil di tengah kondusifnya pasca pemilihan. Hal ini wajar, egosentris dan sok idealis terkadang memang harus dikorbankan untuk meraih yang lebih baik. Siapapun setuju, menempatkan pengurus yang sesuai dengan bidangnya menjadi poin penting untuk mengurus kesenian agar supaya kesenian itu tidak salah urus. Akankah?. Entahlah. Yang jelas, paradigma Dewan Kesenian yang selama ini di anut haruslah dirubah. Untuk itu, kesempatan berpikir, bekerja dan melakukan program yang telah dibuat harus diberikan seluas-luasnya kepada pengurus yang baru. Artinya, evaluasi penting, namun belum waktunya.

Dewan Kesenian dan Dinas Pariwisata
Dewan kesenian dan Dinas pariwisata adalah dua lembaga yang berbeda. Persamaannya, sama-sama mengurusi kesenian. Trendnya adalah mengurus kesenian ala pemerintahan (Dinas Pariwisata) dan mengurus kesenian ala seniman (Dewan Kesenian). Artinya, Dewan Kesenian adalah salah satu lembaga yang tugasnya mengembangkankan dan menggali kesenian secara mekanisme informal yang pembiayaannya diambilkan dari dana APBD. Sedangkan kesenian yang diurus dan pengembangnnya secara terstruktur-formal dikelola oleh Dinas Pariwisata Seni dan Budaya. Kedua lembaga ini menjadi penting untuk kelanjutan kehidupan kesenian itu sendiri, di samping itu ia juga diharapkan mampu menjawab segala persoalan tentang pelestarian nilai-nilai. Melestarikan kesenian tradisi tidak bisa selesai hanya melalui sebuah forum dan pidato yang fantastis saja, yang diperlukan bahkan sangat mendesak untuk dilakukan adalah program kerja nyata yang berbuah dalam bentuk kegiatan atau iven.

Lima bulan yang lalu, semua komite dalam memaparkan program kerjanya waktu Musenda adalah jelas dan bahkan tegas mengatakan DKB jilid 3 ini harus punya sekretariat. Setelah sekretariat baru program dari masing-masing komite. Barangkali sudah saatnya DKB melahirkan beberapa iven yang bisa membesarkan dirinya sendiri. Jangan lagi terjadi kegiatan dualisme yang tidak jelas, siapa di bawah dan siapa di atas, atau siapa numpang siapa. Seiring dengan bertambahnya umur DKB ini, mestinya ia bisa berdiri di kakinya sendiri, karena ia telah dibekali oleh sumber daya manusia yang handal, sedangkan untuk menjalankan programnya, ianya telah pula diberikan dana, sekalipun belum mencukupi. Mudah ditebak, jikalau DKB bisa merealisasikan program-programnya yang bernas di tengah masyarakat, tentu pemerintah tidak akan menutup mata, ketika DKB mengajukan penambahan dana. Untuk itu, program DKB itu harus jelas. DKB tidak boleh manjadi peragu, untuk itu ianya harus direformasi, sehingga kedepannya kita berharap, DKB hadir tidak selalu satu panggung dengan Dinas Pariwisata.

Mimpi kita kedepannya adalah dua lembaga ini bisa mensinergikan pekerja dan karya seni dengan kekuasaan dan kekuatan yang bergerak secara format swasta, kalaulah hal ini bisa berjalan maka kecemasan akan berubah menjadi harapan dan kita tidak perlu cemas ataupun gelisah untuk melestarikan nilai-nilai tradisi yang hidup di tengah masyarakat, karena ianya akan tetap terjaga.

Kita tumpangkan harapan besar kita kepada bung Hasan Aspahani untuk menjadikan Dewan Kesenian Batam menjadi lahan yang indah dan melegakan seniman ketika di wadah ini tumbuh subur kehidupan seni dan seniman hidup dan dapat menghidupi kehidupannya. Begitu pula sudah saatnya juga seniman Batam ini bisa berbicara di iven Nasional bahkan Internasional secara kelembagaan. Karena kesempatan itu selama ini selalu saja terbuka luas, namun asa itu pupus dalam hal finansial. Ayo seniman Batam, sudah saatnya Gendang Tanjak kita mainkan bersama, ditingkah dengan bunyi Marwas yang kental dengan pola Zapinnya, sekaligus alunan melodis Akordion, Biola serta Gambus sehingga melahirkan bunyi yang semakin ritmis. Kita tidak sedang dalam bermimpi untuk menghadirkan suasana ini. Wahai seniman, ini pertanda kita sudah mendekati pintu perubahan, dan mengatakan kepada daerah lain bahwa kota Batam bukan hanya dikenal sebagai kota alih kapal dan industri, namun juga kota budaya.

Yakin, dan kita memang harus yakin, Dewan Kesenian Batam lambat laun akan besar, dan nama seniman yang ada di provinsi Kepulauan Riau berpeluang besar untuk menghiasi peristiwa budaya yang ada di panggung-panggung profesional. Persoalannya adalah bagaimana Bung Hasan Aspahani bisa membuat Dewan Kesenian Batam ini menjadi lahan subur, sedangkan seniman disulap menjadi bibit-bibit unggul yang siap ditanam di tanah manapun.

Akhir kata, masa muda adalah masa yang sarat dengan daya imajinasi,masa muda adalah masa yang sarat dengan daya kreasi, dan masa muda adalah masa yang penuh semangat untuk berbuat. Untuk mencapai semua itu semangat saja belumlah cukup melainkan kepekaan rasa, kecerdasan intelektual, kesempatan dan pengalaman akan menjadi penentu. Pada gilirannya, pembinaan dan pengembangan seni merupakan hasil karya bersama dan rasa kebersamaan segenap insan. Tanpa kesadaran kegotongroyongan semua pihak, sulit untuk mengembangkan bangsa ini, bahkan hanya sekedar untuk mempertahankan-pun. Selengkapnya...

Jumat, 24 Juli 2009

sekolah gratis

SEKOLAH GRATIS, MAUTAK?
Oleh: Faisal Amri, S.Pd
Guru SMA Negeri 4 Batam

WALAUPUN bapaknya sopir angkot, anaknye bise menjadi pilot. Walaupun Bapaknya loper koran, anaknye bise jadi wartawan. Sekolah gratis, mautak?. Iklan ini mendadak top hingga kepelosok negeri. Pencanangan sekolah gratis yang digelindingkan oleh pemerintah melalui Iklan di layar kaca sangat mengena. Nyaris sempurna jika ditinjau dari sisi bahasa, gaya dan intonasi membuat semua orang mengelus dada sambil berucap Alhamdulillah. Iklan ini telah memberikan berjuta harapan di tengah buruknya mimpi masyarakat Indonesia saat ini. Kenapa tidak, semakin tingginya pengangguran, meroketnya harga bahan pokok, naiknya tarif dasar listrik, tarif air minum yang makin menggila sampai kepada biaya sekolah yang katanya semakin tak terbendung. Seolah-olah permasalahan bangsa ini bak air bah yang tidak bisa dihambat sehingga meluluhlantakan sendi-sendi perekonomian masyarakat kita dewasa ini.
Sekali lagi, dampak iklan sekolah gratis sangat luar biasa. Banyak yang dirugikan dari ketidakjelasan ini. Walikota, Bupati sampai kepada Gubernur telah menjadi sasaran tembak yang empuk. Akan tetapi, tembakan jitu justru mendarat di institusi pendidikan. Dan yang ”kene pelasah” di lapangan adalah kepala sekolah dan majelis guru. Hujat menghujat tidak lagi menjadi barang mahal untuk kita temukan di zaman yang tengah riuh rendah ini. Kita sama-sama tahu, bahwa di kota ini semakin banyak saja orang yang pandai berbicara dan bersikeras minta di dengar suaranya. Terkadang mereka juga suka menikmati suaranya sendiri, akan tetapi tuli dan tidak peduli terhadap suara orang lain. Barangkali ini adalah buah dari sebuah demokrasi yang baru saja dinikmati rakyat Indonesia, setelah sekian lama dipaksa bisu dan terpasung. Maka, mulai dari pangkalan ojek, kedai kopi sampai ke dalam taxi plat hitam, beragam permasalahan bangsa ini di bahas dan di kupas termasuk tema sekolah gratis yang saat ini sedang menjadi sorotan publik.
Jujur saja, iklan ini menyesatkan banyak orang, oleh karena tidak dilengkapi dengan penjelasan yang konkrit, misalnya, apa saja yang digratiskan oleh pemerintah. Hal ini dipandang perlu guna menimalisir kecurigaan antara satu dengan yang lainnya, dan patut disampaikan dengan kalkulasi yang benar agar supaya isu ini tidak menggelinding tanpa arah. Lebih jauh iklan sekolah gratis tidak hanya memberikan harapan kepada mereka yang ingin anaknya bisa sekolah, yang pada kenyataannya jauh panggang dari api. Pertanyaannya, siapa yang hendak kita persalahkan?. Entahlah. Namun yang pasti, mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan tanggung jawab pemerintah. Dilain pihak, kita juga tau, bahwa belum sepenuhnya pemerintah bisa menjalankan amanat itu. Oleh karenanya, kerjasama berbagai pihak, saling bahu membahu yang di ikat dengan sebuah komitmen, maka program wajib belajar 9 tahun ini akan bisa diwujudkan. Sambil berdoa dan berharap akan lahir generasi-generasi handal dengan slogan mereka yang baru, yakni, siap menjadi ”generasi pelurus bangsa” ini.
Teman saya yang juga salah seorang guru pernah berkata ”kita (guru) macam pejabat eselon dua aja sekarang”, ha ha ha, kenapa pula kata saya, saya terpancing pula dengan kata-katanya, ia!!, semenjak wacana bapaknya hanya sopir angkot, anaknya bisa menjadi pilot, kita (guru) dan dunia pendidikan menjadi sorotan masyarakat. Kita di tuduh korupsi, menilep dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan lain-lainnya. Lalu, saya jawab, kita tak usah pula pening memikirkan kata-kata semacam tu, karena kita mengajar di Sekolah Menengah Atas (SMA), kata saya meyakinkan teman saya tadi. Awak tau tak, masih banyak masyarakat yang belum memahami dan beranggapan bahwa, sekolah gratis mulai dari SD sampai dengan SMA. Makanya sebagian masyarakat yang belum paham akan sekolah gratis itu marah ketika ianya harus membeli buku (cetak) pelajaran, buku tulis, baju seragam, baju olahraga, sepatu, kaos kaki, topi, dasi sampai pada uang kas kelas. Alamak jang.....kacau-nye, tapi dalam hal ini masyarakat tak sepenuhnya salah, yang salah itu adalah informasi yang tidak lengkap mereka terima. Iya, pula ye, demikian teman saya sambil berlalu meninggalkan ruangan diskusi menuju kelas.
Menurunnya ketidakpercayaan kepada sekolah dan guru bisa dilihat dari banyak hal. Sebagai contoh, dalam pelaksanaan ujian nasional (UN). Beberapa tahun belakangan ini seperti yang kita ketahui, strategi menaikan mutu pendidikan ala pemerintah adalah dengan menaikan standar kelulusan tiap tahun. Akibat yang muncul adalah saling tekan, intimidasi, sampai pada penilaian masyarakat melihat kegagalan siswa adalah kegagalan guru semata. Jarang masyarakat melihat permasalahan ini secara komprehensif. Dilain pihak, otoritas akademik guru dipangkas dengan masuknya berbagai elemen luar sekolah yang pada prinsibnya tidak berkepentingan dengan pelaksanaan ujian nasional (UN) itu sendiri. Jujur saja, penentuan nasib siswa sekelas ujian nasional (UN) ini membuat instansi terkait dan para guru menjadi sesak napas. Macam-macam kiat dilakukan, seperti belajar sore (pemantapan). Bahkan ada pula sekolah yang memangkas jam mata pelajaran yang tidak di ujian nasionalkan. Keputusan seperti ini telah pula membuat diskriminasi. Artinya, ada mata pelajaran yang penting dan ada yang tidak penting. Intimidasi yang dilakukan pada institusi sekolah dan guru, telah melahirkan berbagai kebijakan yang kurang bijak. Jujur saja, terlalu banyak pengorbanan untuk menjemput sukses ujian nasional ini.

Pungutan Tidak !, Sumbangan Boleh ?

Beberapa kali pemerintah (Mendiknas) menyampaikan bahwa sekolah gratis itu tidak boleh melakukan pungutan kepada orang tua siswa, akan tetapi sumbangan boleh dilakukan kepada orang tua yang mampu. Pernyataan seperti ini tidak menjadi masalah ketika disampaikan kepada kepala dinas, Bupati, Walikota dan Gubernur. Dan tentunya ini akan menjadi masalah besar ketika diterapkan di lapangan oleh institusi sekolah dalam hal ini kepala sekolah dan majelis guru. Mudah ditebak, pihak sekolah dalam hal ini terutama kepala sekolah akan dituduh korupsi, memperkaya diri sendiri. Tidak sampai di situ, di tengah kemajuan informasi dan teknologi saat ini, akses masyarakat kesemua lini tidaklah sulit. Intinya, hanya dengan bermodalkan Rp. 125/sms semua permasalahan yang ada dalam waktu singkat bak meteor terangkat dengan cepatnya kepermukaan. Ke esokan harinya, semua media cetak berdendang, tanggapan demi tanggapan digali oleh sang kuli disket keberbagai pihak, di sisi lain orang yang dimintai tanggapan dan pendapatnya ”tuduh sana tuduh sini”, ”hujat sana hujat sini”. Tidak sampai disitu, tanpa komando acara mimbar bebas-pun mengudara di pagi hari selama dua jam melalui salah satu radio terkemuka di kota ini. Barangkali ini terkesan berlebihan, tapi memang begitulah kenyataannya. Intimidasi yang berlebihan pada salah satu institusi, apalagi kesekolah dan guru saya meyakini tidak akan membuat guru apatis terhadap anak didiknya, tapi yang saya risaukan sejauh mana para guru itu bisa bertahan dari suara sumbang itu. Kita akui guru juga bisa salah.
Paradigma pendidikan semakin tidak jelas. Bagaimana guru memandang murid, sebaliknya, bagaimana pula murid memandang gurunya yang selalu salah di mata orang tua mereka, kemudian apa peran orang tua wali murid dalam proses pendidikan. Karena, sekarang ini sekolah hampir saja bahkan mendekati sebuah lembaga atau yayasan penitipan anak. Segala persoalan yang ditimbulkan oleh kenakalan siswa, yang kemudian ditindaklanjuti dengan surat pemanggilan kepada orang tua siswa, dalam hal ini orang tua menyerahkan penyelesaian kasus anaknya kepada guru. Celakanya, ketika guru memberikan sangsi atas pelanggaran yang telah dilakukan oleh anaknya, justru orang tua tidak menerima dan menilai guru tidak bijak. Ini adalah sebuah paradigma baru yang sedang berkembang dengan mekarnya di tengah kehidupan masyarakat.
Melalui tulisan ini, saya cuma ingin bertutur apa adanya, memotivasi kita semua agar bersama-sama memikirkan solusinya, Harapan kita tentunya generasi pelurus bangsa ini bisa mendapatkan yang terbaik, sekalipun secara finansial masih banyak para orang tua siswa yang tidak mampu secara ekonomi. Semoga saja pemerintah kedepannya memberi bukti nyata, dan tidak lagi menjual mimpi yang telah membenturkan banyak orang. Dilain pihak, kepada masyarakat kita berharap lebih baik ”menjadi orang miskin yang kaya” dari pada ”orang kaya yang miskin”. Untuk itu kata-kata yang pas adalah ” sekolah gratis NO!!, subsidi dana pendidikan ke masyarakat yang tidak mampu YESS!!. Bagaimana, SUAI ?. Selengkapnya...

Kamis, 18 Juni 2009

batam tempo doeloe

Arsip-Arsip Sejerah Batam_6
Bagikan
Sen pukul 6:04
ANRI_Riouw 229.1
Subject : Pengukuhan Raja ‘Isa memerintah Nongsa dan rantaunya sekalian
Diberi Riau dan ditaruh cap kita dan tapak tangan kita pada hari
22 Jumadilakhir sanah 1245 berasamaan dengan hari Jum’at atau
Sabtu tanggal 18 dan 19 Desember 1829
Alih aksara : Aswandi Syahri
-------------------------------------------------------------------------------------------------
Salinan

Kerajaan Nederland

Demi Yang Dipertuan Besar di negeri atas angin – demi Paduka Gurnadur Jenderal atas rantau di bawah angin

Bahwa berhajat supaya barang siapa yang memegang pekerjaan dibawah perintah sri paduka tuan Sultan yang bertahta Lingga dengan segala daerah takluknya boleh menunjukkan surat kuasa daripada pihak residen Nederland yang duduk di Riau adanya

Maka adalah kita Elout yang memegang pangkat ketika antara aridder Orde Melitaris xxx Ridder Orde Singa Nederland - letnan koalnel dan Residen Riau memberi surat ini kepada Engku Raja ‘Isa akan menjadi zahir Engku Raja ‘Isa itu demi Sultan dan demi Yang Dipertuan Riau adalah memegang perintah atas Nongsa dan rantaunya sekalian.

Syahdan apabila Engku Raja ‘Isa berjumpa dengan orang dari negeri atas angin hendaklah dia menunjuki surat ini supaya dia orang boleh kenal dengan dia demikianlah adanya


Dengan setahu
(Tanda Tangan Tengku Uthman, Wakil Sultan Abdulrahman Muazzamsyah)


Salinan ini serupa benar bunyinya dengan salinan yang asalnya dikeluarkan daripada perhimpunan surat2 yang seumpamanya oleh penjaga yang demikian itu.

Tanda tangan


Diberi Riau dan ditaruh cap kita dan tapak tangan kita pada hari 22 Jumadilakhir sanah 1245 Selengkapnya...

Selasa, 16 Juni 2009

asal mula batam oleh aswandi

Melacak Kembali Hari Jadi Batam: Raja Isa dan Jejak Awal Sejarah Pemerintahan di Pulau Batam (1829 – 1913)
Bagikan
Hari ini jam 5:01
Melacak Kembali Hari Jadi Batam:
Raja Isa dan Jejak Awal Sejarah Pemerintahan di Pulau Batam
(1829 – 1913)

oleh:

Aswandi Syahri

Nama pulau Batam, yang kini telah lekat dan terkenal sebagai nama sebuah kota maju yang perkembangannya paling pesat dan dinamis di Provinsi Kepulauan Riau telah lama dikenal. Sebuah peta perlayaran VOC tahun 1675 yang kini tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden, umpamanya, telah mencatumkan pulau Batam dengan nama pulau Batang (Batam) yang disandingkan dengan pulau Bintang (Bintan). Dengan kata lain dapatlah dikatakan bahwa Pulau Batam telah melewati perjalanan waktu (sejarah) yang panjang sehingga terserlah menjadi sebuah kota yang maju.


Persoalannya sekarang, sudah berapakah usia Batam? Dan kapan hari jadi Batam? Saya yakin tak seorangpun yang mampu memberikan jawaban dengan menyebutkan hari, tangal, bulan, dan tahun, hai jadi Batam setepat sebuah perhitungan matetamtis.

Namun demikian, usia itu harus ditemukan, agar Batam tegak pada sebuah pondasi historis yang berpunca dari perjalanan sejarahnya. Kunci persoalan ini terletak pada pencarian hari jadi. Hal ini perlu dipikirkan, agar Batam (meminjam ungkapan bung Taufik Muntasir) tidak “tua tanpa usia”. Atau, Batam tak lagi dianggap sebagai sebuah kota yang “Muncul seperti disunglap”, seperti sebuah metafora sarat makna yang diungkapkan oleh almarhum penyair Idrus Tintin dalam salah satu puisnya yang beberjudul Batam (Sebuah kesaksian) . Mengapa hal ini penting? Karena apa yang dicapai Batam hari ini tidak terjadi begitu saja “bagaikan disunglap”, melainkan melalui sebuah proses perjalanan dalam ruang dan waktu yang disebut sejarah. Awal dari proses itulah yang akan coba kita lacak dalam diskusi ini.
Dalam diskusi ini saya ingin membatasi, dan kita menyepakati terlebih dahulu bahwa hari jadi sebuah kota, dan sudah barang tentu hari jadi Batam, bukanlah hari berdirinya kota itu. Karena hari jadi sebuah kota lazimnya adalah sesuatu yang dicari dan ditemukan diantara sejumlah momentum penting dan mempunyai makna dalam perjalanan sejarahnya. Diterima sebagai sebuah “kesepakatan,” yang kemudian dipilih dan ditetapkan sebagai sebuah momentum hari jadi.

Jika demikian persoalan, lantas kapan hari Jadi Batam? Dari hasil penelusuran bahan-bahan arsip dan sumber-sumber sejarah Batam di Arsip Nasional dan Perpustakaan Nasional di Jakarta, saya dapat mengemukakan sebuah moment sejarah yang dapatlah disebut sebagai titik awal bermulanya pemerintahan anak watan Riau-Lingga di Pulau Batam yang sifatnya berkesinambungan. Dengan tidak mengecilkan arti penting beberapa momentum sejarah dan sejumlah tokoh dalam sejarah Batam yang telah dikenal sebelumnya, maka dalam kesempatan ini saya ingin memperkenal sebuah moment sejarah dan seorang tokoh penting lainnya dalam perjalanan sejarah Batam: Raja Isa. Mula-mula saya akan akan menjelaskan susur galur Raja Isa, yang diikuti dengan penjelasan serba ringkas tentang arti pentingnya bagi sejerah Batam.


Susur Galur : Siapa Raja Isa?

Nama batang tubuhnya Raja Isa. Dari beberapa silsilah, dapatlah diketahui bahwa ayahandanya adalah Raja Ali @ Marhum Pulau Bayan @ Yang Dipertuan Muda Riau V ibni Daeng Kamboja Yang Dipertuan Muda Riau III. Dengan demikian jelaslah bahwa Raja Isa adalah keturunan Yang Dipertuan Muda Riau. Sedangkan bundanya bernama Raja Buruk binti Raja Abdulsamad ibni Daeng Kamboja @ Engku Wok @ Engku Wuk. Selain itu, ia juga mempunyai istri kedua yang tidak diketahui namanya

Dalam dokumen-dokumen Belanda sezaman, Raja Isa tampaknya dipandang sebagai tokoh penting dalam keluarga diraja Riau, dan namanya turut dicatat dan disandingkan dengan tokoh lain seperti, Raja Jakfar Yang Dipertuan Muda Riau VI, Raja Ahmad ayah Raja Ali Haji, Datuk Penggawa Ahmad, Arong Bilawa, dalan lain-lain.

Dari kedua istrinya, Raja Isa memperoleh beberapa orang anak laki-laki, yang antara lain: Raja Yakup , Raja Idris, Raja Daud , dan Raja Husin . Pada masa lalu, Raja Isa dan Isa dan keluarga menetap di Pulau Nongsa dan Sungai Nongsa. Hanya Raja Husin yang sebelumnya menetap di Pulau Nongsa, dilapaorkan berpindah dan menetap di Pulau Penyengat ketika telah berusia 87 tahun.

Tentang Raja Isa ibni Raja Ali Yang Dipertuan Muda Riau V dan keturunannya di Nongsa, Pulau Batam, dalam Tuhfat al-Nafis, Raja Ali Haji mejelaskannya sebagai berikut:

“…Sebermula Adapun Yang Dipertuan Muda Raja Ali ini, ialah Raja Muda yang kelima daripada bangsa Bugis anak cucu Opu Dahing Perani. Adalah ia mengadakan beberapa anak laki-laki dan perempuan. Adapun yang laki-laki bernama Raja Isa, ialah beranakkan Raja Yakup serta saudaranya. Adalah ibunya Raja Wok dan lagi anaknya bernama Raja Idris mengadakan anak laki-laki dan perempuan. Ada yang hidup, ada yang mati masa membuat silsilah ini. Adalah kebanyakan anak cucunya di Sungai Nungsa.”


Membuka Nongsa dan Memegang Perintah Atas Nongsa

Sumber lisan dan sebuah silsilah di Pulau Penyengat menyebutkan Raja Isa sebagai seorang tokoh yang membuka sebuah “kampung baru” di pulau Batam yang kini dikenal dengan nama Nongsa. Sebuah kampung yang dicantumkan oleh J.G. Schot dalam peta Kepulauan Batam (De Battam Archipel) yang dipublikasikannya pada tahun 1882 . Bahkan, sumber-sumber lisan dan cerita pusaka yang berkembang di pulau Penyengat menyebutkan bahwa toponim nama Nongsa berasal dari nama timang-timangan Raja Isa sebagai putera tertua Raja Ali Yang Dipertuan Muda Riau @ Marhum pulau Bayan: Nong Isa.

Barangkali, oleh karena diucapkan oleh lidah yang tidak tunggal-asal dan didukung pula oleh salah pengucapan @ lapsus calamy, maka perlahan-lahan nama kampung baru tempat tinggal Raja Isa di pulau Batam ini berubah namanya menjadi Nongsa; ketika seseorang menjelaskan bahwa ia akan pergi ke kampung tempat tinggal Raja Isa di pulau Batam. Walaupun demikian, terdapat pula cerita lain tentang asal usul nama Nongsa.

Apakah benar Raja Isa tinggal di Nongsa?

Dua buah bahan sumber Belanda dari tahun 1833 [Beknoopte Aantekening over het Eiland Bintang 1833] dan 1837 [Beknopte Aantekening van Het Eiland Bintang Nederlansch Etablissant en Eenige daar toe Behoorende Eilande 1837] yang saya temukan di Arsip Nasional (ANRI) dan Perpustakaan Nasional (PNRI), Jakarta, jelas menyebutkan bahwa Radja Issah @ Raja Isa tinggal di Nongsa atau pulau Nongsa.

Bahkan, bahan sumber yang ditulis pada 1833, lebih jauh menjelaskan bahwa Raja Isa berusia sekitar 50 tahun ketika itu, dan kampung kecil tempat ia bersemayam terletak di hulu Sungai Nongsa:

“...Een kort eind het riviertje van Nongsa opgevaren zijnde, komt men aan eene kleine kampong, alwaar zich eenige weinige maleijers afstammelingen van Boeginezen ophouden, en radja Ishak zijn verblijf houdt...."

[ Jika berlayar menghulu di sungai Nongsa itu, kita sampai pada kampung kecil, tempat tinggal beberapa orang Melayu dan peranakan Bugis, serta Raja Isa bersemayam.]

Selain dikenal sebagai tokoh yang membuka Nongsa sebagai sebuah kampung atau negeri yang baru, selembar dokumen (tepatnya salinan selembar dokumen) yang ditemukan dalam koleksi Arsip Riouw di Arsip Nasional Jakarta, menyebutkan bahwa Raja Isa juga pernah diberi “kuasa” memegang perintah atas Nongsa dan rantau sekitarnya dibawah perintah Sultan dan Yang Dipertuan Muda Riau. Peristiwa ini terjadi 5 tahun setelah Traktat London tahun 1824, dan ditandai dengan surat Comisaries Jendral sekaligus Resident Riouw, Letnan Kolonel Cornelis P.J. Elout pada tanggal 22 Jumadil Akhir 1245 Hijriah yang bersamaan dengan tanggal 18 atau 19 Desember 1829 Miladiah.


Embrio Sejarah Pemerintahan di Pulau Batam

Secara historis, surat “pengukuhan” Raja Isa memegang perintah atas Nongsa dan rantau sekitarnya atas nama Sultan Abdulrahman Syah Lingga-Riau (1812-1832) dan Yang Dipertuan Muda Riau Raja Jakfar (1808-1832) amat penting bagi sejarah Batam. Karena ianya menandai sebuah “babak baru” dalam perjalanan sejarah pemerintahan lokal di Batam, setelah tidak lagi menjadi pusat perentah Temenggung Johor yang ditinggalkan oleh Temenggung Abdurahman @ Daeng Ronggek karena hijrah dari Pulau Bulang ke Singapura dengan membawa 150 orang pengikutnya pada tahun 1811, dengan membawa serta seluruh Orang Sabimba @ Orang Senimba, penduduk asli Batam yang mendiami kawasan sekitar Teluk Senimba @ Sebimba.

Dan dalam dalam kenyataanya, momentum embrional dan penanda paling paling awal ini terus berlanjut dan berkembang menjadi pola dan sistem pemerintahan pribumi di Pulau Batam yang berada dibawah kendali kerajaan Riau-Lingga, serta diwariskan kepada penerus-penerus hingga tahun 1913.

Setelah Raja Isa wafat pada tahun 1831, “wilayah adminitrasi pemerintahan” atas Nongsa dan rantaunya mulai berkembang lebih maju dengan batasan-batsan yang lebih jelas dan mencakup seluruh kawasan Kepulauan Batam (Battam Archipel). Paling tidak dari laporan J.G. Schot, dapatlah diketahui bahwa hingga tahun 1882, kawasan Kepulauan Batam telah dipecah menjadi tiga bagian. Masing-masingnya mempunyai pemerintahan terpisah membentuk sebuah wilayah administrasi pemerintahan yang disebut Wakilschap, namun tetap dibawah kendali Yang Dipertuan Muda Riau (Raja Muhammad Yusuf) di Pulau Penyengat.

Wilayah pertama yang terletak di bagian Utara pulau Batam, adalah Wakilschap Nongsa yang membentang dari muara Sungai Ladi di Pantai Utara Batam hingga muara sungai Doeriankang, Kangboi , dan Asiamkang. Sebuah wilayah paling kecil yang dipimpin oleh Raja Yakup bin Raja Isa dengan pangkat atau gelaran wakil. Dan ketika usia Raja Yakup telah lanjut, maka jabatan wakil itupun diserahkan pula kepada puteranya yang bernama Raja Mohammad Caleh (Saleh) bin Raja Yakup.

Wilayah kedua, adalah wakilshcap yang mencakupi kawasan pulau Buluh dan pulau sekitarnya seperti Belakang Padang, Sambu, Bulang, Setoko, Rempang, dan Galang serta sebagian pulau Batam. Wilayah ini bukan wilayah apanase seperti halnya Nongsa, sehingga langsung Berada dibawah kedali Yang Dipertuan Muda Riau melalui seorang wakilnya yang bernama Raja Usman. Wilayah Ketiga adalah wakilschap Sulit. Sebuah kawasan cukup luas yang mencakupi pulau Cembul, Kepala Jeri, Kasu, Telaga Tujuh, Sugi, Moro, Sangla (Shalar), Sandam, dan Durai serta Kateman.

Memasuki tahun 1895, perkembangan system pemerintahan lokal di Batam memasuki sebuah babak baru lagi, ketika Yang Dipertuan Muda Riau X Raja Muhammad Yusuf al-Ahmadi melakukan “resuffel” besar-besaran terhadap jabatan wakil-wakilnya yang berada di sejumlah daerah dalam wilayah kerajaan Riau-Lingga. Reorganisasi ini dilakukan menyusul dikeluarkannya Undang-Undang Qanun yang terpakai oleh Kepala-Kepala yang Besar Pangkat Kecil dan Besar yang Menjaga Negeri dalam Kerajaan Lingga-Riau dan takluknya pada taun 1313 hijriyah yang bersamaan dengan 1895 miladiyah.

Sebagai daerah tempat kedudukan wakil kerajaan Riau-Lingga, maka Batam yang sebelumnya dibagi kedalam 3 daerah Wakilschap ditata menjadi dua wilayah pemerintahan yang dipimpin oleh seorang yang berpangkat atau bergelar Amir dan seorang berpangkat Kepala dalam sistem pemerintahan kerajaan Riau-Lingga.

Sebagai Amir pertama untuk pulau Batam diangkatlah Tengku Umar bin Tengku Mahmud berkedudukan di Batam (Pulau Buluh) berdasarkan besluit (surat keputusan) kerajaan Riau-Lingga No. 12, hari Selasa tanggal 12 Rabi’ul-akhir 1313 Hijriyah yang bersamaan dengan hari Selasa tanggal 1 Oktober 1895. Sedangkan untuk daerah Nongsa diangkat pula Raja Mahmud bin Raja Yakup sebagai wakil kerajaan berpangkat Kepala berdasarkan besluit kerajaan Riau-Lingga No. 9 tanggal 11 Rabi’ul-akhir 1313 Hijriyah yang bersamaan dengan hari Senin tanggal 30 September 1895 Miladiyah. Jabatan dan kedudukan Amir Batam di Pulau Buluh yang berada dalam lingkup Kerajaan Riau-Lingga dan daerah Takluknya terus belanjut dan dipegang oleh Raja Jaafar hingga menjelang penghapusan kerajaan Riau-Lingga oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1913.

Jika dilihat dari proses perjalanan sejarahnya, perkembangan sistem pemerintahan lokal @ Inlandsche Bestuur kerajaan Riau-Lingga di wilayah Batam dan sekitar lebih dahulu terbentuk dan jauh sebelum pemerintah Hindia Belanda menempatkan wakil Resident Riouw @ Europesche Bestuur di wilayah Batam. Karena, secara resmi pemerintah Hindia Belanda baru menempatkan pegawai pemerintahan bangsa Eropa ( plaatsing van Europeesche bestuur amtenaren ) di Batam, Karimun, Daik, dan Bintan Utara pada tahun 1868, berdasarkan Stadblad (Lembaran Negara) No. 70. Sejak saat itu, sebagai bagian dari wilayah administrasi pemerintahan Hindia Belanda dalam Residetie Riouw, Batam menjadi sebuah Onderaffdeeling @ Plaatselijk Bestuur yang dikepalai aleh seorang Controleur berkedudukan di Pulau Bojan, dan diletakkan dibawah Afdeeling yang bepusat di Tanjungpinang (Afdeeling Tandjongpinang).

***

Sampai batas tertentu, perkembangan tata pemerintah di Batam diikuti pula dengan perkembangan dan pembangunan infrastruktur. Sebagai ilustrasi, dalam tahun 1882, J.G. Schot melaporkan telah ada jaringan jalan yang dibangun membentang dari Sungai Lekop ke Batoe Hadji, Tiban, Kranji, dan Senimba. Begitu juga jaringan jalan dari Tiban ke Sungai Panas, dan Kampung Blian. Demikian pula jaringan jalan dari Senggoenoeng menuju arah Tring serta Asiamkang. Bahkan bentangan jaringan jalan dari Sungai Panas ke arah Kangboi melewati bagian Selatan Bukit Ladi arah Batu Haji, yang diikuti dengan jaringan jalan dari Duriangkang ke arah Tiban.

Sejalan dengan perkembangan tata pemerintahan dan insfrastruktur, Yang Dipertuan Muda Riau di Pulau Penyengat juga mulai melirik Batam sebagai kawasan “masa depan”. Kecendrungan ini telah mulai terlihat sejak pertengahan abad ke – 19. Sebagai ilustrasi, dalam kasus ladang gambir umpamanya, sekitar awal tahun 1880-an, Yang Dipertuan Muda Riau mengeluar sejumlah surat kurnia kepada seorang Cina bernama Lau A Kong, dan mengizinkannya untuk membuka ladang ladang gambir di Batam.

Perkembangan ini antara lain juga dipicu oleh semakin menipisnya cadangan bahan bakar kayu pada kawasan-kawasan ladang gambir yang ketika itu masih terkonsentrasi di pulau Bintan. Akibatnya, pulau Batam yang pada masa itu masih relatif kosong dan belum digarap menjadi kawasan “yang diperebutkan” secara ekonomis. Persaingan ni ada kalanya memicu pertelagahan bersenjata dan pembakaran bangsal gambir. Sebagai ilustrasi, pada tanggal 1 April 1856, sempat terjadi pertelagahan bersenjata antara dua kempok orang Cina Muka Merah dan Muka Hitam dari singapura dan Batam ketika memperebutkan kawasan ladang gambir di sekitar Teluk Tering, Nongsa, dan Batu Besar.

Mengimbangi perkembangan Singapura yang yang pesat sejak dibuka Inggris pada tahun 1819, pihak kerajaan Riau-Lingga juga mulai membukan pulau Batam dan pulau-pulau sekitarnya untuk berbagai kontrak dan konsesi. Perkembangan ini berhasil memancing sejumlah “penanaman modal asing” dan pengusaha-pengusaha kaya dari Singapura untuk membuka dan melebarkan usahanya ke Pulau Batam da pulau-pulau sekitarnya.

Disamping membuat kontrak dan membuka konsesi untuk pengusaha dan pemodal asing, Yang Dipertuan Muda Riau Raja Muhammad Yusuf juga memberikan kurnia bagian tertentu tanah Batam kepada “pengusaha” tempatan yang berasal dari kaum kerabatnya. Sebuah contoh yang amat terkenal adalah kurnia bagian tertentu dari pulau Batam yang diberikan oleh Yang Dipertuan Muda Riau Raja Muhammad Yusuf kepada Raja Abdullah (Tengku Besar), Raja Muhamad Tahir, dan putranya yang bernama Raja Ali Kelana berdasarkan surat kurnia dari Yang Dipertuan Muda Riau Raja Muhammad Yusuf tanggal 29 Rabul Akhir 1308 Hijriah yang bersamaan dengan tanggan tanggal 11 atau 12 Desember 1890 Miladiah.

Dalam sebuah sebuah surat tanggal 8 Rabiul Awal 1316 Hijriah, bersamaan dengan 26 Juli 1898 Miladiah, “ditegaskan” kembali oleh Raja Muhammad Yusuf bahwasanya diatas tanah tersebut Raja Ali Kelana dan Raja Muhammad Tahir telah membuka usaha dengan menggunakan modal dan usahanya sendiri.

Usaha apa yang dibuat oleh Raja Ali kelana dan Raja Muhammad Tahit di atas tanah kurnia tersebut? Apakah pada tanah yang dijelaskan pada dua surat tersebut sebuah pabrik batu bata yang kemudian menjadi milik Raja Ali Kelana didirikan? Belum ada bahan sumber yang dapat menjelaskan hal ini. Satu hal yang pasti, Song Ong Siang dalam sebuah bukunya menyebut seorang pengusaha Cina dari Singapura bernama Sam Ong Leong sebagai pemilik sebuah pabrik batu bata di pulau Batam. Apakah pabrik ini didirikan diatas atas tanah yang disewa Sam Ong Leong dari Raja Ali Kelana dan Raja Muhammad Thahir? Satu hal yang pasti, terdapat sebuah pabrik batu bata dengan nama Batam Brick Works di Batu Haji pulau Batam, terkenal dengan merek BATAM dan mempunyai kantor pusat di Singapura.

Bahan sumber informasi terbaru tentang pabrik yang berlokasi di Batu Haji ini menyebutkan bahwa, “...pabrik batu bata Batam Brick Works telah lama berdiri, namun pendirinya tak mampu membuat sebarang keberhasilan. Setelah mengalami beberapa kali perubahan, akhirnya kepemilikan atas pabrik itu dibeli ole Raja Ali Kelana pada tahun 1896 [ “...The Batam Brick Works have been established for many years, but the founder was unable to make the business a sucess, and, after passing through many vicissitudes, the undertaking was purchaced by Raja Alie the present owner, in 1896...”]

Dari siapa Raja Ali Kelana pabrik ini? Sulit untuk menjawab hal ini karena ketiadaan sumber yang dapat menerangkannya. Namun yang jelas, di tangan Raja Ali Kelana, pabrik penghasil batu bata dengan merek “BATAM” yang hampir bangkrut ini, berhasil bangkit sehingga mampu menghasilkan 30.000 batu bata dalam sehari dan bahkan mampu mengangkat nama Batam sebagai penghasil batu bata yang bermutu di kawasan Selat Melaka.

Perkembangan pabrik batu bata Batam Brick Works semakin pesat setelah nama perusahaan yang berkantor pusat di Singapura ini muncul dalam Singapore Straits and Directory pada tahun 1901. Sejak saat itu nama Batam Brick Works semakin terkenal sebagai perusahaan penghasil batu bata bermutu yang terbesar di gugusan Kepulauan Riau-Lingga dan negeri-negeri Selat.

Mutu batu bata produksi Batam Brick Works selalu memenangkan sejumlah pertandingan kualitas dan mutu batu bata di Singapura, Semanjung Melayu, dan kawasan Timur Jauh. Bahkan karena mutu batu batanya, perusahaan ini pernah mendapatkan award (penghargaan) dalam sebuah pameran di Hanoi dan Pulau Pinang pada tahun 1907.

Aktivitas Batam Brick Works dibawah Raja Ali Kelana berakhir ketika ia memutuskan untuk menjual persahaan itu kepada seorang pengusaha Cina di Singapura pemilik Sam Bee Brick Works, satu tahun menjelang pemakzulan Sultan Abdulraman dan Tengku besar kerajaan Riau-Lingga pada tanggal 10 Februari 1911.


Salinan Surat "Pengukuhan" Raja Isa Ibni Raja Ali Yang Dipertuan Muda Riau V @ Marhum Pulau Bayan Memerintah Nongsa dan Rantaunya Sekalian 1829
Selengkapnya...

Ujian Nasional

SISWA TAK LULUS UJIAN NASIONAL, SALAH SIAPA?

Oleh Faisal Amri, S.Pd

Guru SMA Negeri 4 Batam

GAWAT pak!!!, 633 orang siswa SMA/MA/SMK di Batam tidak lulus Ujian Nasional, sekolah kita macam mana pak?, apakah Bapak sudah dapat informasi berapa orang yang tidak lulus?. Itulah kali pertamanya telepon saya berbunyi Kamis, 11 Juni 2009. Kebetulan, pagi itu saya piket. SMS pertama saya abaikan, tiga menit berselang, telepon genggam saya berdering lagi, sambil berjalan saya membuka ternyata isi pesan pendek itu lebih miris lagi, bunyinya seperti ini, Bapak..... kami hancur pak, saya merasa, saya ada dalam prediksi 633 yang tidak lulus itu. Gimana ni pak, begitu ia mengahiri sms-nya. Lama saya termenung. Akhirnya saya jawab juga, udah..... itu-kan baru_ prediksi ”nak”.

Informasi tentang hasil akhir Ujian Nasional memang diprediksi antara tanggal 13 sampai 15 Juni 2009 ini. Mendekati keputusan itu, para siswa mulai mencari informasi-informasi di dunia maya. Kebijakan pemerintah yang setiap tahun menaikan standar kelulusan, memang dianggap kurang cerdas dan tidak lazim. Keputusan ini tidak saja merisaukan para pelajar, melainkan para orang tua, guru, sampai pada para politikus yang ada di Senayan. Pemerintah tidak bergeming. Satu-satunya cara meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia adalah menaikan standar kelulusan tiap tahun, dan berhenti ketika sudah mencapai standar kelulusan yang ideal. Mengutip pernyataan Menteri Pendidikan Nasional Bambang Sudibio diberbagai media. Dengan tegas beliau mengatakan bahwa, pemerintah tetap akan menaikan standar kelulusan Ujian Nasional (UN) setiap tahunnya sampai diperoleh standar kelulusan yang ideal. Masih menurut menteri, standar kelulusan yang ideal untuk pendidikan dasar hingga sekolah lanjutan atas berkisar antara 5,50 hingga 6,00. Mengacu pada Undang-Undang sistem pendidikan nasional (SISDIKNAS) no 20 tahun 2003, ujian nasional memang di amanatkan untuk diadakan tiap tahun.

Peserta ujian nasional dinyatakan lulus jika memenuhi standar kelulusan dengan memiliki rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang di ujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya. Sebagai contoh: Bahasa Indonesia 6.50, Bahasa Inggris 6,50, Matematika 4,00, Fisika/Ekonomi 4,00, Kimia/Sosiologi 4,25 dan Biologi/Geografi 7,75.

Tradisi yang selama ini di anut oleh masyarakat urban adalah, guru dianggap sebagai orang terdepan untuk sebuah pencapaian para peserta didik. Ini sebuah penapsiran yang keliru. Yang semestinya kita sepakati adalah, peran orang tua, pemerintah, guru dan siswa itu sendiri. Sehingga, begitu memasuki hasil akhir kita tidak saling lempar tanggung jawab. Kita sudah bosan dengan paradigma yang berkembang selama ini.

Pemerintah tidak bisa hanya menjadi penentu saja, melainkan juga harus bisa bertanggung jawab. Sebagai contoh, dan maaf, saya melihat pemerintah tiada henti-hentinya ber-eksperimen di tengah jutaan anak bangsa. Kurikulum 2004 kerennya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) baru dipakai secara resmi untuk mengganti kurikulum 1994, tidak lama berjalan, belum lagi sosialisasi merata ke daerah-daerah muncul gagasan baru dari pemerintah yang menawarkan otonomi pendidikan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Anehnya lagi, sentralisasi dan standarisasi UN dilakukan. Alangkah bijaknya, evaluasi pendidikan berupa kebijakan mandiri dari tiap penyelenggara pendidikan, bukan hanya kebijakan birokrat.

Sekedar bernostalgia, dulu kita besar dan beribawa. Tenaga pendidik kita banyak yang menjadi guru dan dosen terbang ke negeri jiran seperti Malaysia dan Singapura. Ingat!, itu dulu. Sekarang kita berdecak kagum dengan perkembangan pendidikan negara tetangga kita itu, bahkan, kita sering dibuat tidak berdaya oleh mereka. Akankah kita bisa menjemput sukses yang dulu?. Jika ini yang menjadi tujuan pendidikan di negeri kita ini, siapa yang tidak ikut bangga, paling tidak, ini bukti bangsa kita masih punya cita-cita. Hal ini bukan tidak mungkin, siapa yang menyangsikan ketangguhan sumber daya manusia Indonesia, dan siapa pula kiranya yang mengatakan negara kita miskin. Kalau kurang cerdas mengelola sumber daya alam, mungkin benar adanya.

Ujian nasional merupakan bagian kecil dari pengukuran kemampuan peserta didik, sedangkan masalah mutu adalah masalah yang komprehensif, tidak hanya di lihat dari kemampuan siswa, akan tetapi juga kwalitas guru, sarana dan prasarana, proses pembelajaran serta input dan lainnya yang ditetapkan dalam standar nasional pendidikan. Untuk mencapai segala sesuatunya memang tidak sedikit bentuk pengorbanan yang harus diperbuat. Salah satunya dari sekian banyak problem pendidikan dewasa ini adalah, pengorbanan perasaan guru, (terlebih guru bidang studi yang di UN-kan) kepala sekolah, sampai kepada kepala Dinas Pendidikan, akan menjadi tumbal bagi kebanyakan orang untuk menilai sebuah keberhasilan. Ada benarnya juga, tapi mestinya di pilah dengan sebuah kalkulasi persentase, sehingga sebuah kesalahan atau penilaian tidak hanya tertumpu pada satu instansi saja. Di sisi lain, pemberitaan atau apresiasi masyarakat menanggapi sebuah kegagalan terkadang juga sangat berlebihan dan tidak masuk akal. Sebagai contoh, jika siswa di suatu sekolah banyak yang tidak lulus, maka kiamat kecil terjadi, guru dianggap tidak berbobot, tidak kompeten dan tidak-tidak yang lainnya, jarang sebuah penilaian itu bisa berimbang. Patut juga dipertanyakan, pernahkah terlintas bagi segelintir orang untuk melihat kegagalan itu secara komprehensif?,

Pertanyaannya adalah; sudahkah memadai sarana dan prasarana dimiliki sekolah?, ditinjau dari segi tenaga pengajar, apakah sudah ada pemerataan secara kualitas dan kuantitasnya?, sudahkah sistim pendidikan kita tertata dengan baik? Atau sudahkah pemerintah menemukan format kurikulum yang baku? Dengan memenuhi semua unsur ini, kesenjangan, ketimpangan dan ketidak adilan di dunia pendidikan akan menjadi barang mahal kita temukan. Artinya lagi, perbaiki sistim pendidikan kita, benahi terus sarana dan prasarananya, tingkatkan kualitas tenaga pengajar, dan terus benahi kesejahteraan guru. Jika ini menjadi prioritas bagi petinggi pendidikan kita, maka, prestasi bisa tumbuh di mana-mana. Atau, silakan saja UN di adakan untuk pemetaan tingkat kwalitas pendidikan di daerah dan nasional, namun bukan harga mati untuk kelulusan.

Mengutip berita Batam Pos Jumat, 12 Juni bahwa hasil Ujian Nasional tingkat SMA/MA/SMK akan diumumkan Senin, 15 Juni 2009. Prediksi terburuk mestilah kita siapkan, sembari berdoa untuk kelulusan. Apapun hasilnya, para guru, orang tua dan anggota masyarakat lainnya, hendaklah menyiapkan kondisi fsikologis anak-anaknya. Siapkan mental mereka untuk menerima kekalahan. Hindari hal-hal yang tidak kita ingini, sikapi dengan baik, dengan tidak saling hujat dan saling umpat. Mari kita sama-sama berdoa dan berbenah, menuju masa depan pendidikan yang lebih baik. Bahkan, silakan saja intervensi dilakukan terhadap guru, namun intervensi yang diberikan adalah menciptakan iklim yang kondusif. Hasil sedang kita tunggu, apapun prediksi tentang UN sah-sah saja. BISMILLAH, 99% sebuah angka yang layak, jika 100% tidak memungkinkan. SEMOGA.
Selengkapnya...

Catatan kaki parade tari daerah prov. kepri

Menggarap Tradisi dengan Interpretasi Kekinian
(catatan tentang parade tari daerah)
Oleh Faisal Amri, S.Pd
Ketua komite tari Dewan Kesenian Prov. Kepri / Guru SMA N 4 Batam
Parade tari daerah se provinsi Kepulauan Riau, 6 Juni 2009 yang diadakan di Pamedan Kota Tanjungpinang, cukup mendapat sambutan. Menonton dua belas karya tari pada malam itu, ada isyarat bahwa koreografi di daerah ini tidak sepi. Pertunjukan malam itu telah menjadi indikasi bahwa para koreografer muda di Kepri punya kemampuan yang perlu di asah, baik secara koreografi, wawasan, penggalian akar tradisi serta usaha pencarian gagasan karya yang baik.

Potensi penari yang dimanfaatkan oleh masing-masing koreografer muda itu, mendekati keseimbangan satu sama lainnya. Kendati, pada banyak bagian, ada kehadiran penarinya yang belum lagi mengarifi seni tari sebagai pengekspresian jiwa yang mempengaruhi segala bentuk psikis atau psikologis dari gerak dan isi tari yang dipagelarkan. Sehingga persepsi tentang tari sebagai hiburan, dunia lengang lenggok, mengikuti irama masih tercermin dalam karya yang tampil pada malam itu.
Parade tari yang digagas oleh Dinas Pariwisata provinsi Kepulauan Riau ini mendatangkan tiga eksekutor dari Jakarta, yakni Dedi Luthan, penari dan koreografer Nasional yang juga dosen Institut Kesenian Jakarta, Evi Martison yang pada dasarnya adalah seorang penari dan koreografer, akan tetapi di ranah publik lebih dikenal sebagai komposer dan yang terahir adalah Suryandoro dari Taman Mini Indonesia Indah Jakarta. Dedi dalam sepatah dua katanya jelang pengumuman pemenang mengatakan, kecendrungan karya lebih kepada gerak dalam tempo cepat. Kelembutan yang bertahan dengan kekuatan vokal tidak lagi menjadi sumber yang menggiurkan. Lebih jauh, teknik menari, kemampuan melahirkan gagasan karya lalu penggunaan properti yang tidak sekedar akrobatik haruslah menjadi pertimbangan, sehingga karya yang lahirpun tidak hanya mengarah kepola entertainment saja, demikian dedi mengahiri sambutannya. Sedangkan Evi Martison mengkritisi masalah musik. Jika dilihat dari musik tari secara keseluruhan mempunyai kemajuan yang luar biasa, enak di dengar, akan tetapi ada yang terpisah dari tarinya. Evi juga menegaskan, seharusnya musik tari bisa menjadi cabang ilmu musik yang mempunyai tugas tersendiri, antara lain di samping untuk iringan, juga bisa mempertegas gerak, membentuk perbedaaan ritme, tempo, suasana dan karakter dari koreografi itu. Sehingga musik tari benar-benar diperuntukan untuk tari.
Prinsip sederhana dalam karya tari yang begitu percaya kepada tubuh, masih terabaikan. Kecendrungan ini bahkan melahirkan tudingan, bahwa, karya koreografer yang tampil pada malam itu terasa verbal dalam menerjemahkan ide. Mereka tidak bisa bergerak lebih banyak untuk mengeksploitasi tubuh dalam melahirkan metafor atau simbol-simbol bagi sebuah wacana di balik itu. Akhirnya lahirlah anggapan, bahwa, karya yang tampil terkesan hanya memindahkan apa yang terdapat dalam kehidupan keseharian lalu di bawa ke atas panggung. Lebih jauh, apa yang dinamakan dengan stilisasi gerak belum mendapat prioritas bagi seorang koreografer.
Tari Balairong Sri, misalnya, yang ditata oleh Raju dari Tanjung Balai Karimun sebagai pembuka lomba tampil dengan kesederhanaannya. Mengusung tiga penari cewek dan lima penari cowok tanpa menggunakan properti. Tari Penggalah dan tari Kembu Berpaut dari Kabaputen Lingga, Putri Dayang Sembilan dari Anambas, adalah koreografi yang hampir belum tersentuh dengan kaidah-kaidah luar. Artinya karya mereka belum banyak terkontaminasi dengan gaya, corak, gerak yang melebihi kemampuan dari seorang penari pendukungnya. Keinginan berbuat, berkreativitas lebih menonjol dari pada menyalin, mengkopi faste bentuk-bentuk kekinian. Akan tetapi keluguan, gaya garap mereka telah memberi warna tersendiri dalam kancah parade pada malam itu. Satu hal yang mesti dipuji dari mereka adalah semangat mereka dalam berbuat dan berkarya.
Congkak Bertingkah yang tampil diurutan kedua, mengusung properti sesuai nama tariannya “Congkak”. Tarian ini muncul dengan konsep permainan yang sedikit menggigit. Koregrafer juga piawai dan trampil memanfaatkan kesederhanaan kwalitas penari yang centil dan mungil. Congkak tidak hanya dimanfaatkan sebagai alat permainan, tapi ia telah pula menjadi properti dalam pengertian lain. Kalau saja kwalitas kesembilan penari ini matang dengan teknik, ditambah dengan keberadaan musik yang melebihi dari kesan meriah, maka, tarian Congkak Bertingkah akan memberikan nuansa tersendiri. Demikian juga endingnya, kalaulah penari bisa bertahan 3 sampai 4 detik saja di tengah panggung dengan arah hadap diagonal kiri, yang kemudian di akhiri oleh lampu yang makin lama redup, mungkin tarian ini akan berbicara lain.
Lain dengan tari Kajang Sapulimo, tari Nyiru Bara dari Bintan, Cermin Tekat dari Batam. Karya mereka telah memasuki ranah koreografi yang mempunyai keinginan untuk bercerita. Menembus batasan tari tidak hanya sekedar gerak berirama. Kelebihan lain penari sudah memiliki kwalitas gerak, ditambah kemampuan tehnik penari yang mulai dirasakan, akan tetapi belum mempunyai kesamaan pandangan dalam menerjemahkan sesuatu. Vokabuler yang digunakan terjebak kepada hal-hal yang sudah lazim selama ini. Sehingga hampir dipastikan alasan pemilihan motif ini agar mereka terkesan tampil dengan aroma kekinian. Keinginan yang kuat untuk mengenyampingkan kesederhaan telah membuat mereka gagap dalam berbuat. Anehnya lagi, tempat kreatif yang berberjauhan, tidak membuat karya mereka berbeda dipanggung, ibarat saudara kandung, mereka memiliki sifat, warna kulit dan kemauan yang sama. Kedepannya, kita meyakini proses secara terus menerus akan membuat mereka jujur dalam berbuat, dan hakikat tari menjadi pilihan yang tidak boleh ditawar. Kemungkinan-kemungkinan untuk pendewasaan seorang koreografer masih terbuka luas, jika mereka selalu berproses. Apalagi mereka berbuat tidak hanya karena sebuah iven.
Tari Senandung Ujung Utara ke Jakarta
Tari Pongkes tampil dengan keberanian yang luar biasa. Ia menawarkan sesuatu hal yang baru. Kebebasan ekspresi yang mempunyai keinginan besar untuk keluar dari konfensi-konfensi mereka lakukan. Pongkes memiliki musikalitas tersendiri dalam memainkan ekpresinya berikut gagasan yang mewakili bahasanya sendiri, dia juga memiliki intuisi dalam tubuhnya. Tubuh penari dibungkus dengan baju jauh dari kegemerlapan. Pongkes seolah-olah bertutur dan meyakinkan ke penonton bahwa, kekuatan serta identitas (melayu) garap tidak hanya terdapat pada kostum. Saya meyakini, ketiga dewan juri merasa menemukan sesuatu hal yang baru di beberapa menit awal garapan. Sayang, ketika dewan juri baru saja memperbaiki duduknya, alur tari pongkes tidak bertahan, kemudian terasa tidak sabar untuk masuk ke hal-hal yang konfensional.
Puncaknya, berkompetisi dengan kekuatan penari, ide, gagasan dan saling berperang dengan keindahan, manisnya pola garap musik, ritme yang semakin ritmis, betul-betul dirasakan di dua nomor tari. Dua karya itu adalah, Senandung Ujung Utara dari Natuna dan tari Ancak Bertuah dari Sanggam Tanjungpinang. Vevi, koreografer Ancak Bertuah memiliki kecendrungan pada gerak yang berpariasi dan cepat. Bloking penari berganti dengan cepatnya untuk memperpendek transisi. Dua kelompok penari berpapasan, yang satu berbalik dan bergabung dengan yang lain, berlari ketengah panggung kemudian berpencar mengisi kekosongan panggung. Properti Ancak lahir dengan interpretasi yang lain juga menjelma menjadi kekuatan yang luar biasa. Sedangkan Nurul, korerografer Senandung ujung utara tampil dengan lebih kepada keindahan, permainan properti dan surprise pada musik. Terlepas dari kesan musik yang gemuruh, gerak yang hanya sekedar melenggok di atas penggung. Hakikat tari hampir saja sempurna dari karyanya ini. Keunggulan lain dari karya Nurul adalah kehadiran musik, yang notabene bisa menambal kekurangan sisi lain dari karya tari. Kelebihan ini barangkali yang membuat keputusan tiga eksekutor (Dedi, Evi dan Suryandoro) untuk mengirim Senandung Ujung Utara ke Jakarta.
Sebaliknya, kelemahan dari dua tarian ini terletak pada gerak yang didominasi oleh pola-pola yang sangat kita kenal sebelumnya sehingga mudah sekali untuk diramalkan. Dalam kehidupan sehari-hari banyak barang yang sering kita gunakan secara berulang-ulang. Akan tetapi begitu memasuki wilayah estetik orang ingin mendapatkan surprise dan kejutan. Artinya adalah, pengulangan yang dilakukan secara berlebihan akan mudah kehilangan daya tarik estetiknya. Etika dan estetika memiliki kesamaan karena keduanya saling terkait dengan nilai-nilai. Bedanya, etika lebih dititikberatkan kepada tingkah laku manusia, maka estetika lebih terkait dengan laku kontemplasi (perenungan), mengamati, dan mencermati suatu obyek.
Barangkali pada Nurul, Caping bisa menjadi metafor selain penutup kepala dan Vevi Candra, Ancak disulap menjadi bertuah dan Ahadian, pongkes menjadi metafor senjata. Pengayaan makna menjadi sangat penting untuk memberi ruang imajinasi, sebagaimana terjadi pada puisi. Bukankah menjadi lebih kaya jika membiarkan tubuh bergerak tanpa dibebani sebuah drama turgi, yang kadang tampil dengan pergerakan alur yang sangat linier.
Nurul, di panggung Taman Mini Indonesia Indah Jakarta karya anda akan lebih bermakna karena di soroti lighting serta penataan sound yang baik. Saya juga menjamin, waktu tenikal meting anda tidak akan bertengkar dengan stage menejer, apalagi soundmennya. Karena pertunjukan anda di tangani oleh orang-orang yang matang dan profesional. Anda trauma, dan sangsi?, hubungi Vevi Candra dan Alhadian yang telah kembali sebelum anda berangkat. Selamat berjuang kawan!.
Selengkapnya...

Sebuah Catatan Untuk Teater Rumahitam

Pementasan Teater Dipertigaan Rumahitam, mencari penonton baru?
Oleh: Faisal Amri, S.Pd
Ketua komite tari Dewan Kesenian Provinsi dan Guru di SMA 4 Batam
Bismillahirrahmanirrahim
Salam pada alam langit dan bumi, salam bagimu pertigaan kapan kau lengang

Dipertigaan jiwa-jiwa lengang. Dipertigaan banyak orang-orang meradang. Dipertigaan banyak orang malang. Dipertigaan banyak orang menabur uang untuk menang.
Penggalan sajak ini sepertinya telah menjadi tema, skenario dan sekaligus judul dari karya teater yang dipentaskan di gedung teater kecil Raja Ali Kelana selama beberapa hari ini. Pemetaan penampilan-pun dirancang. Ada kesan, komunitas seni rumahitam kali ini seolah-olah mencoba mencari penonton baru. Atau, memberitahu sekaligus membuktikan pada masyarakat, bahwasanya dunia akting itu berkembang dan bahkan diminati di daerah ini. Beberapa kali pertunjukan lakon ini memang terjadi pasang surut. Pertunjukan pada malam hari yang diperuntukan kepada masyarakat umum belum sepenuhnya mendapat tempat di kalangan penikmat seni teater. Di siang hari, emosi dan aktualisasi diri para pemain sedikit terobati, karena di tonton oleh puluhan pasang mata pelajar yang ada di kota Batam.

Gagasan pertigaan rumahitam terinspirasi oleh situasi perpolitikan saat ini. Perpolitikan sekarang telah membuat banyak orang menjadi gila, stres dan sekarat dari sisi finansial. Kesekaratan universal itu dibuktikan oleh sutradara dengan mengusung simbol-simbol demokrasi ke atas panggung. Akan tetapi, sangat disayangkan, penggunaan simbol-simbol demokrasi itu terasa sarat memadati panggung berukuran 5 x 4 meter itu. Namun, secara keseluruhan, penyajian dari teater ini cukup memberi ruang imajinasi kepada audien. Di tengah kekurangan yang ada, masih tersimpan harapan kepada komunitas ini untuk selalu memproduksi dengan judul-judul yang lain. Mudah-mudahan kuantitas pertunjukan, dan seringnya keikutsertaan komunitas ini ke forum-forum teater ke daerah lain akan menjamin kualitas pertunjukan di kemudian hari. Dan pegiat-pegiat teater yang muncul sekarang di rumahitam, melebihi sekumpulan orang yang hanya mampu bersorak sorai di kandangnya sendiri.
Plot dan blocking panggung
Kalau saja boleh mengkesampingkan, atau menukar adegan awal pertunjukan (suara gemuruh musik, serta lalu lalangnya para pemain masuk panggung, celoteh saling bersautan antara pemain, pemusik) ini, yang kemudian, digantikan dengan adegan kemunculan tokoh (indra). Mungkin tehnik muncul pertunjukan ini terasa lebih hidmat, otak penonton pun mulai menari dengan bebasnya. Karena kehadiran lakon (indra) sangat kuat dan bahkan bisa membuat para penonton berdecak kagum, dengan posisi duduk membetuk garis diagonal, pandangannya yang tajam seolah-olah membelah panggung, suasana hening, minim kata-kata, suasana ini lebih dipertajam dengan kehadiran alunan gitar membuat kemunculan indra sarat dengan makna.
Kekuatan tubuhnya benar-benar dimanfaatkan untuk berimajinasi, berekplorasi dan berekpresi, maka bisa disimpulkan indra terbilang baik jika dibandingkan dengan pemain-pemain lainnya. Jujur saja, kehadiran indra di awal pertunjukan memang telah menjadi magnit tersendiri. Sehingga keberhasilannya di awal bisa menutupi kekurangannya ketika melakukan adegan di plot-plot yang lain. Indra asik bermain dengan kesendiriannya, improvisasi di tengah dialog oleh aktor yang lain secara tidak langsung memberi kekuatan tersendiri. Akan tetapi tidak bisa pula dipungkiri, bahwa, Indra juga sering lepas dari konteks penampilan secara keseluruhan.
Inti dari naskah ini, kiranya berada di Halte. Halte itu mengambil tempat persis di kiri belakang pentas. Ukuran Halte inipun hampir setengah dari keseluruhan panggung. Lalu pemain 1 (Iliyas) mondar mandir sambil menghisap cerutu mininya, sedangkan Pemain 2 (seorang cewek) yang duduk di ujung Halte itu terlihat gelisah, sesekali ia menoleh kepada pemain 1, kemudian matanya lama tak berkedip, pandangannya terasa hampa, pikiran berat seolah-olah bermain di otaknya. Pemain 1 (iliyas) masih sibuk dengan kesendiriannya. Sesekali iliyas memang memberikan respon kepada lawan mainnya, Kejenuhan, monoton mulai dirasakan setelah beberapa menit iliyas dialog dengan kesendiriannya. Kebuntuan itu baru terpecahkan ketika Iliyas menaiki halte dengan kekuatan dan ekspresi yang mengena. Iliyas dengan lantang menyampaikan cercaannya kepada partai yang seolah-olah melewati pertigaan rumahitam itu. Kalian hanya bikin kota ini kotor, spanduk dan brosur yang kalian pajang dimana-mana hanya omong kosong, suara kalian memekakan telinga kami, pergi, pergi, dan enyahlah kalian dari sini. demikian iliyas berhasil menutup ujung dialognya.
Tidak sampai disitu, sang sutradara memberi aksen yang lebih kuat lagi, ia masuk ditengah iliyas tengah menemui kebimbangan dan penurunan emosi lantaran, pemain 2 (cewek) yang tidak maksimal memberikan sugesti. Bagian ini terasa sangat kuat, ditambah dengan totalitas Tarmizi dengan adegan 9 detiknya yang menginginkan adegan ini di ulang dari awal. Jujur, kemunculan tarmizi yang sejak awal hanya mengutak atik komputer yang ditaroh pojok kiri penonton itu, sangat kuat. Adegan ini memang pernah menjadi bagian dari produksi teater tahun lalu, akan tetapi kehadiran kali ini menjadi lebih kuat. Sangat di sayangkan, adegan penuh sensasi ini tidak lama berjalan. Masuknya 3 orang pemusik dengan 3 alat instrumen yang masing-masing membawa Tamburin, Gitar dan Gendang Jimbe, menjadikan kelanjutan adegan ini menjadi kehilangan arah, dan sama sekali tidak mengena, baik itu dari tatanan konsep maupun suasana yang dinginkan menjadi tidak karu karuan.
Sutradara dan pemain pemula
Ada kesan mereka bermain seolah-olah menuruti semua apa yang diinginkan oleh sutradara. Mestinya hal ini di balik, seorang sutradara memberikan kebebasan berekspresi kepada pemainnnya untuk mengeinterpretasikan naskahnya. Karena ketika pertunjukan ini di usung kepada masyarakat penonton, peran sutradara tidak lagi mendominasi. Tanggung jawab itu berada sepenuhnya pada pemain (aktor). Apalagi dengan mengandalkan pemain pemula mestinya Tarmizi harus pintar menyiasati pertunjukan ini. Tapi kita meyakini ini adalah sebuah proses yang akan membuat mereka mengerti hakikat berteater. Salah satu peristiwa budaya ini akan lahir berjenjang dengan sendirinya.
Sisi lain yang bisa dilihat dari pertunjukan teater ini adalah, diperlukannya keberanian Tarmizi untuk memadukan beberapa unsur seni yakni, dialog dan gerak. Di samping dialog (kata-kata) yang menjadi media utama teater, kemudian diramu dengan medium gerak (tari) yang gunanya adalah untuk menjelajahi nilai spiritual dalam teater itu sendiri. Hal ini bukan tidak mungkin dikarenakan Tarmizi punya seorang Musdar. Dikatakan melengkapi karena, tari dan teater merupakan dua disiplin ilmu yang di dapat oleh Musdar secara formal, walaupun tidak tuntas. Tinggal sekarang, Musdar itu di posisikan kemana?.
Jujur saja, saya harus mengucapkan tahniah kepada Tarmizi yang tetap eksis dengan kesenimannya. Masalah kualitas, memang tidak segampang itu diraih. Di tengah sulitnya masyarakat untuk tetap bertahan hidup, kelompok ini masih bisa menyisakan waktu untuk berolah pikir, dan berkreasi. Kelelahan tarmizi mengurusi bengkel teaternya ini bukan tidak beralasan. Keluar masuknya para pemain dan penghuni rumahitam membuat ia selalu harus mengeluarkan barang baru. Melatih orang baru, merekrut yang baru, sementara mereka yang telah berlatih sekian lama sehingga hendak memasuki babak penyempurnaan ekspresi, dengan alasan klasik (mencari sesuap nasi) mereka harus hengkang dan mencari pelabuhan baru yang tidak ada hubungan sama sekali dengan apa yang ia kerjakan selama ini.
Kelelahan Tarimizi juga telah menjadi kelelahan kehidupan kesenian di daerah ini, bahkan mungkin tidak berlebihan jika di katakan di beberapa banyak daerah akan mengalami hal yang sama. Stagnasi berkesenian itu dimulai dari sini. Mudah ditebak, bahwa, hidup dengan berkesenian masih menjadi barang langka dalam peradaban zaman sekarang, apalagi di Batam. Namun tidak sedikit pula orang-orang di sini justru bisa sukses dengan pilihannya. Ini bukan masalah nasib, akan tetapi bergantung sepenuhnya pada keyakinan dan usaha yang dilakukan oleh seseorang seniman tersebut.
Tarmizi, teruslah berbuat, berkreasi, bereksprimen, dan berolah seni untuk memberi keseimbangan kepada masyarakat di kota kalengking ini. Riak dan bahkan gelombang besar yang ada di laut hiru biru sana sering dibawa oleh orang perorangan ke daratan. Dan kita sama-sama tahu, bahwa, di kota ini semakin banyak saja orang (seniman, dan orang yang mengaku seniman) yang pandai berbicara dan bersikeras meminta untuk di dengar suaranya. Terkadang mereka juga suka menikmati suaranya sendiri, akan tetapi tuli dan tidak peduli terhadap suara orang lain? Apalagi suara orang seperti kita ini. LANTAKLAH!!!!
Selengkapnya...

Tari Kontemporer

Ketika Tari Kontemporer Tumbuh dan Berkembang
Perkembangan dunia tari dewasa ini semakin marak, semua ini ditandai dengan adanya berbagai negara telah menyelenggarakan festival tari baik tingkat nasional maupun tingkat internasional. Jika ditinjau dari segi gaya serta coraknya cukup membuat dunia tari semakin hidup, seolah-olah tidak akan pernah mati, dimulai dari festival tari rakyat, klasik, modern sampai pada tari kontemporer yang saat ini tumbuh dan berkembang. Kegiatan seperti ini merupakan kesempatan emas guna untuk memacu kreativitas para penari, koreografer, kritikus, penulis sampai pada manajemen kesenian itu namun tari telah pula sendiri.

Memilih tari kontemporer dalam berbagai kegiatan festival tari yakni untuk menyongsong masa depan tari di Indonesia, sebagai forum pertukaran gagasan bagi para profesional tari yang datang dari berbagai penjuru dunia. tari tidak lagi dibatasi oleh gerak, ruang, waktu dan tenaga namun tari telah pula menjadi ilmu yang harus di dalami sesuai dengan meningkatnya pola pikir manusia dalam menyongsong era baru. Istilah apalagi yang akan muncul setelah tari kontemporer yang sekarang tumbuh dan berkembang, perkembangannya tidak saja terjadi di kota-kota besar namun telah pula menjalar ke darah-daerah.

Pemunculan iven tari kontemporer itu bisa kita lihat di daerah-daerah seperti; Sumatera Barat dengan tajuk Contemporary Dance Festival (CDF), Sumatera Utara, Jambi dan Riau. Riau dengan tajuk Pasar Tari Kontemporer yang digagas oleh Pusat latihan tari Laksemana pimpinan Iwan Irawan. Sedangkan provinsi Kepulauan Riau pernah waktu melalui kegiatan tahunan dengan Bintan Arts Festival. Entah tahun berapa persisnya pernah mengundang koreografer dari Sumatera Utara dengan koreografer Anton Sitepu, sedangkan dari Pada dan terbina dengan adanya festival taring menjemput koreografer Eri Mefri. Suatu terobosan yang menarik bagi seniman Kepri, khusus seniman tarinya dengan kwalitas yang menjanjikan, dan mestinya iven ini tetap terjaga, terbina dengan membuat iven-iven tari lainnya. Di sayangkan kegiatan ini tidak dilanjutkan, sehingga tari ke kinian itu tidak maksimal diperkenalkan kepada masyarakat di Kepri.

Sekarang tinggal manusianya (koreografer), apakah ia akan berbuat untuk sebuah iven besar saja, kalaulah hal ini yang menjadi acuan bagi seniman di daerah ini maka akan terjadi seniman karbit. Semoga saja seniman di sini berbuat untuk perkembangan intelektualnya. Pikiran ini banyak tertumpu pada penata tari muda, karena di samping sebagai generasi penerus ia harus berbenah diri, dan mendewasakan diri untuk menyongsong karya-karya yang bermutu. Masa muda adalah masa yang penuh semangat untuk berbuat, masa muda sarat dengan daya imajinasi, daya kreasi dan usaha pantang menyerah. Akan tetapi dalam seni semangat saja belumlah cukup. Kemampuan tehnik, kepekaan rasa, pengetahuan, kecerdasan serta pengalaman ikut menentukan.

Hendaknya semangat muda itu di sadari dan di bina, karena semangat yang menggebu itu jikalau tidak disalurkan akan mudah putus dan susah utnuk bangkit kembali, padahal para muda itu menjadi tumpuan masa depan yang bahasa slogannya adalah generasi penerus. Namun tak berarti juga semua yang diterima dari yang tua harus diteruskan atau sebaliknya semua yang lama harus diganti. Sebab dalam kehidupan selalu terdiri dari tiga generasi; yang sudah senja, yang sedang berkuasa dan yang akan menggantikan. Alangkah bijaknya jika nilai lama yang masih relevan diteruskan. Tapi sepantasnya pula generasi muda diberi kesempatan untuk menemukan jati diri dan mengukir prestasi sesuai dengan gelora jiwa masa kini.

Tari kontemporer merupakan salah satu gejala dalam kehidupan modern kita dewasa ini. Keberadaannya dikalangan seniman sudah tidak asing lagi, tapi dari kalangan awam tari dari golongan ini masih kurang di kenali. Kebanyakan orang tidak mengerti, nilai-nilai dan kwalitas yang terkandung. Apakah kiranya yang dapat diharapkan dari tari yang menamai dirinya tari kontemporer itu, yang ditangkap hanya keanehannya saja oleh karena dilatarbelakangi oleh ketidaklazimannnya itu. Kiranya usaha atau iven-iven seperti Bintan Arts festival, Pasar tari Kontemporer dan kegiatan apa lagi yang akan muncul. Kegiatan seperti ini yang akan menjembatani pemahaman dalam masyarakat itu, karya yang disajikan dapat disimak, dinilai dan dihayati oleh banyak orang, yang kemudian diperbincangkan dan dikenang, dan kemudian orang mengharapkan untuk melihat karya-karya tari kontemporer yang lain.

Tari kontemporer atau tari masa kini merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh seniman tari sebagai perkembangan lebih lanjut dari gerakan yang dilancarkan oleh seni modern, yang cendrung untuk menentang tradisi. Usaha yang keras untuk menemukan bentuk-bentuk baru, azas-azas komposisi baru dan bahkan sumber-sumber gerak selalu ada di sana di pusat medan kreativitas di mana sang seniman bekerja untuk mencari kemerdekaannya.

Seni tari kontemporer secara umum juga cendrung untuk menanggapi masalah aktual yang terjadi dalam masyarakat masing-masing atau masalah apa saja yang dikenali sebagai masalah global. Namun, sang seniman juga hidup dalam lingkungan tradisi di mana tradisi itu berada, tradisi itu diraasakan sebagai sesuatu yang harus di hadapi, bahkan dilawan, tetapi adakalanya juga samar-samar dikenali sehingga menjadi tantangan untuk meraihnya. Melihta pada situasi yang seperti ini maka seniman itu didesak untuk bersikap terhadap tradisi melalui suatu dialog yang mempunyai arti, baik pada tataran konsep maupun pada tehnik. Kecendrungan dalam mencari penemuan-penemuan baru, mencari sumber-sumber gerak yang baru, tehnik-tehnik yang baru. Agaknya hal seperti inilah yang digemari oleh penata tari muda sekarang lalu di tampung oleh sauatu wadah yang sering dinamakan festival. kebebasan seperti ini dijadikan sebagai wadah dan lahan yang luas menuangkan ide, gagasan, sehingga ia mampu dan siap untuk menyajikan yang sifatnya kebaru-baruan. Hal yang berbau kebaru-baruan tentu banyak mempertimbangan dari segala asfek agar menajdi sebuah yang berarti seperti pendalaman konsep dari sebuah pikiran yang akan dilahirkan.

Perkembangan tai kontemporer beserta asfek-asfek pendukungnya telah nampak dalam wujud yang nyata, sebagai indikasi dari festival tari yang diadakan telah melahirkan penata tari muda dalam menyongsong masa depan tari di indonesia. Tinggal sekarang pemantapan dan bimbingan serta motivasi diri yang paling menentukan, semua ini ditandai dengan usaha-usaha seperti hasil kreativitas.

yang lebih prinsipil yaitu bagaimana usaha kita tidak menjadi seniman pesanan, karena dengan menjadi seniman pesanan akan mengakibatkjan lamban dalam perkembangan. lalu jalan yang terbaik dalam mengukir sebuah prestasi seni adalah apabila diri seniman itu dikomandoi oleh hati dan perasaannya sendiri utnuk berbuat atau berkarya. Intinya diri seniman itu tidak selalu dikomandoi oleh sebuah iven yang besar.

Selengkapnya...

Seni Pertunjukan dan Pariwisata

SENI PERTUNJUKAN + KEPARIWISATAAN = VISIT BATAM 2010

Oleh: Faisal Amri, S.Pd

VISIT BATAM 2010 sudah diambang pintu. Kurang dari 8 bulan lagi tahun 2009 ini akan berahir. Masalah Visit Batam 2010 pernah dibicarakan di kalangan masyarakat Batam melalui facebook yang sekarang lagi diminati banyak orang. Pengguna dan pencinta dunia maya ini pun beragam mulai dari rakyat biasa sampai birokrasi, hal ini bisa dilihat dari beranda facebook yang menampilkan photo, nama serta kalimat-kalimat yang membuat orang ikut berkomentar. Salah satu yang menjadi topik pembicaraan oleh segelintir orang melalui facebook waktu itu adalah; masyarakat kok belum juga merasakan gaungnya program-program yang dibuat ataupun yang direncanakan untuk menuju Visit Batam 2010. Kita juga tidak tahu persis apa yang mereka maksud sesungguhnya. Barangkali mereka mempertanyakan kepada instansi terkait apa yang hendak dijual oleh Batam menyambut Visit Batam 2010 ini. Kita sangat meyakini, pertanyaan ini tidak mengandung tendensi apa-apa, melainkan kegelisahan, kegalauan masyarakat yang memang secara tidak langsung terlibat dalam menyukseskan Visit Batam ini.

Setahun yang lalu di Hotel Goodway Dinas Pariwisata Kota Batam membentang Visit Batam 2010 dengan mengundang nara sumber dari departemen terkait yang didatangkan dari Jakarta. Waktu rapat kerja itu juga sempat menjadi pertanyaan dari kalangan yang hadir yang meragukan akankah Visit Batam 2010 ini bisa tercapai sesuai dengan yang direncanakan mengingat waktu yang relatif singkat?.
Jujur saja penulis masih menyimpan kekecewaan sewaktu mendengar pemaparan nara sumber yang didatangkan dari Jakarta itu. Alasan kekecewaan dikarenakan, orang yang sudah bertungkus lumus mengurus kepariwisataan di tingkat pusat tidak memberi pencerahaan atau strategi yang berarti. Mungkin penulis yang salah, karena apa yang diharapkan bukan itu yang diinginkan oleh peserta rapat. Penulis waktu itu berharap, nara sumber sedikit membuka kiat-kiat atau strategi yang dilakukan oleh daerah lain dalam mensukseskan program yang serupa. Sehingga dari pemaparan tersebut bisa ditimang-timang oleh instransi terkait yang ada di Batam. Salah satu orang yang diundang waktu itu, setidaknya, saya mendapatkan dua hal, pertama, jumlah turis dari berbagai Negara yang mengunjungi Indonesia, ke dua, pemaparan konsep logo Visit Indonesia Year 2008. Kekecewaan ini juga terlihat dari adem ayemnya forum diskusi waktu itu. Padahal membicarakan masalah pariwisata adalah membicarakan banyak hal dan sangat kompleks.

Langkah yang di ambil oleh Pemko Batam melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan adalah langkah tepat dan juga bijak, walaupun terkesan berpacu dengan waktu. Kenapa tidak, Visit Batam 2010 ini perlu dukungan semua pihak. Tidak main-main dengan programnya, pihak Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Batam-pun tidak mau sendirian, untuk itu, ia mengundang pihak-pihak yang berkompeten untuk duduk bersama mencari formula yang pas untuk dunia kepariwisataan Kota Batam kedepannya.
Mengupas masalah pariwisata bisa ditinjau dari beberapa aspek. Akan tetapi dalam tulisan ini lebih menitikberatkan pada konteks budaya. Karena menurut hemat penulis membicarakan masalah pariwisata secara tidak langsung kita juga membicarakan masalah seni tradisi serta pelestarian nilai-nilai tradisional seperti seni musik, teater dan tari. Membicarakan seni tradisional sebagai ikon suatu daerah untuk kepariwisataan di Kota Batam, seolah-olah kita dihadapkan kepada tembok yang tinggi dan besar, sebab melestarikan budaya tradisional pada saat ini sama artinya dengan mencoba melawan arus tehnologi dan informasi.
Kata-kata pelestarian ataupun melestarikan budaya tradisional sudah acapkali kita dengar, melestarikan budaya yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat, apalagi di tengah masyarakat majemuk seperti kota Batam ini tidak bisa selesai dalam pidato serta forum yang panjang dan fantastik. Kita tidak lagi membutuhkan kata-kata gombal yang menyuguhkan beribu bahkan berjuta tiori, namun yang sangat mendesak untuk dilakukan adalah realisasi dari pelestarian dari nilai-nilai itu. Misalnya, bagaimana kita bisa menghargai seniman tradisi dan menciptakan iklim yang kondusif buat mereka untuk mengembangkan diri sekaligus akan menunjang kreativitas kesenian itu sendiri. Masalah utama yang kita hadapi adalah, kita masih setengah hati untuk berbuat, sehingga kata-kata pelestarian hanya sebuah lipstick dari orang-orang tertentu agar terkesan bahwasanya ia mencintai tradisi, bahkan ia, kita dibesarkan oleh tradisi itu sendiri.
Perkembangan seni pertunjukan dalam kaitannya dengan pariwisata haruslah merupakan kegiatan manusia yang memiliki nilai lebih. Dan nilai lebih itulah yang seharusnya menjadi daya tarik wisatawan atau penonton untuk menyaksikannya, masalahnya adalah bagaimana kita bisa memberikan informasi, “menjual”, atau “memasarkan” nilai lebih itu kepada wisatawan. Disinilah dituntut “public relation” yang gesit, terampil dan cerdik menawarkan “seni pertunjukannya” kepada calon penontonnya, adalah merupakan seni tersendiri.
Jika melihat ke daerah-daerah yang termasuk tujuan wisatawan di Indonesia, pada umumnya suatu daerah tersebut menawarkan kegiatan pesta seni rakyat yang dibungkus dengan tehnik kemasan yang modern. Sehingga pesta seni tersebut tidak hanya diperuntukan kalangan wisatawan mancanegara, akan tetapi juga diminati oleh masyarakat setempat. Sebagai contoh Bali boleh dikatakan setiap tahun mengadakan Pesta Seni, di Yogyakarta, Sumatera Barat, Lampung, Jakarta dan berbagai daerah lainnya.
Dengan demikian barangkali secara makro akan mendorong perkembangan seni pertujukan juga paling tidak setahun sekali. Tetapi sekali lagi mendorong seni pertujukan yang bagaimana?. Mewujudkan keinginan wisatawan?. Mengenai Bali merupakan pengecualian dengan alasan bahwa kesenian di sana menyatu dengan agama serta adat istiadat masyarakat pendukungnya. Lain lagi dengan Irian Jaya sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Sardono W kusumo (pakar tari Indonesia) ia mengatakan bahwa untuk di Irian Jaya mereka memisahkan antara tarian yang mengacu kepada kepercayaan dan adat dibedakan dengan tarian yang khusus mereka siapkan untuk turis. Dan sekarang, bagaimana dengan perkembangan seni pertunjukan dalam kaitannya dengan pariwisata daerah ini?. Di sini akan muncul factor tawar menawar (bargaining) yang menentukan apakah seniman yang terlibat dalam seni pertunjukan itu memiliki integritas terhadap nilai-nilai seni atau akan larut kepada budaya hiburan belaka.
Salah satu tujuan pariwisata di bidang sosial budaya adalah upaya melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai budaya bangsa. Di lain pihak agama dan adat masih berdiri dengan kokoh dan berakar di tengah masyarakatnya. Oleh karenanya, perkembangan seni pertunjukan, kaitannnya dengan pariwisata di kawasan ini harus tetap mengacu kepada upaya melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai budaya lingkungannya di satu pihak dan juga ruangan bagi seniman untuk berekspresi kreatif, inovatif, dilain pihak, sekaligus menggalakan penonton atau wisatawannya dengan membagi pengalaman estetik sebagai imbalan nilai materi yang berimbang antara seni pertunjukan dan penontonnya, pariwisata dan wisatawannya. Akhirnya perkembangan seni pertunjukan dalam kaitannya dengan pariwisata yang paling ideal adalah saling mengisi secara berimbang, saling menerima dan saling memberi.

******
Secara umum yang dimaksud dengan wisatawan adalah setiap orang yang melakukan perjalanan dan persinggahan sementara di luar tempat tinggalnya untuk keperluan apapun terkecuali mencari nafkah. Sedangkan ciri-ciri yang menentukan seorang sebagai wisatawan adalah; melakukan perjalanan di luar tempat tinggalnya sehubungan dengan berbagai keperluan seperti rekreasi, liburan, pameran, misi kesenian dan lain-lain sebagainya.
Apa yang sudah dilakukan?, dan apa yang akan dilakukan dalam menyambut Visit Batam 2010?. Jika kita lihat secara teoritis, pertanyaan ini sangat mudah dan terasa gampang untuk menjawabnya. Kita juga tidak boleh menutup mata, bahwa apa yang telah dilakukan oleh Dinas Pariwisata Kota Batam untuk menyongsong visit Batam 2010 sudah berusaha untuk menjawab pertanyaan di atas. Akan tetapi jujur juga kita sampaikan alhasil dari penyebaran virus oleh Dinas ini terasa belum menyentuh seperti yang diharapkan, terkadang kita juga berpikir serius apa tidak ya program visit ini. Ragam pertanyaan menggelayuti pikiran kita; apakah pengelolaannya yang salah? (tidak profesional), atau manajemen seni pertunjukan itu yang belum tergarap dengan baik?, ataukah pertunjukan yang selama ini dibuat tidak punya nilai jual?.
Kalau merujuk kepada iven yang diadakan oleh Dinas pariwisata kota Batam dalam menyambut Visit Batam 2010 ini sudah berjalan dengan beberapa program. Tidak tanggung-tanggung pergelaran itu mulai dari seni tradisi, kreasi sampai pada seni dengan nilai artistik yang tinggi. Paling tidak ada dua peristiwa budaya yang menarik untuk kita simak. Pertama adalah gawenya Dinas Pariwisata. Masih segar dalam ingatan kita yaitu pertunjukan musik Jazz dengan mendatangkan musisi-musisi kawakan ke kota Batam ini dengan mengambil tempat kawasan wisata Ocarina.
Ke dua, siapa yang tidak kenal dengan Deni Malik koreografer kondang sekaligus penyanyi, bintang film artis dan deretan gelar yang melekat padanya pernah membuat pertunjukan yang rencannya dengan waktu yang relatif lama di Batam dengan mengambil panggung procenium Sumatra Promostion Centre. Tidak tanggung-tanggung pertunjukan mereka ini didukung oleh seniman/seniwati pilihan dari Jakarta. Satu niat manajemen ini yaitu mendulang Dolar Singapura dan Ringgitnya Malaysia sebanyak-banyaknya. Waktu itu kita berdecak kagum, promosinya ke dalam maupun keluar luar biasa, kekaguman kita bertambah ketika kita mengetahui dari brosur dengan bandrol tiket (terendah) mencengangkan yakni Rp. 25.000,-. Pertunjukan ini tidak sesuai dengan rencana semula, tidak tahan dengan sepinya penonton akhirnya mereka sampai juga kepada endingnya. Endingnya adalah, mereka harus hengkang dari Batam ini dan kembali ke habitatnya (Jakarta).
Apa yang terjadi dengan kedua pertunjukan mahal ini?. Kedatangan wisatawan dari Singapur dan Malaysia yang menjadi tumpuan kedua penyelenggaraan ini pupus. Terus apa yang salah dengan pertunjukan ini?, ENTAHLAH.
Program yang dibuat serba instan terkadang memang menuai resiko yang tidak sedikit. Berproses karya seni kita memang harus di imbangi dengan kesadaran yang tinggi. Terkadang apa yang kita pikirkan sepintas akan begini dan begitu lalu sebuah keberhasilan seolah-olah telah berpihak kepada kita. Sebuah proses karya sesuai dengan pesanan akan bisa dipersiapkan sesuai dengan tenggat waktu yang ada. Seminggu bisa siap, sebulan juga bisa siap, bahkan setahun atau lebih juga bisa siap. Bisa, dan bahkan gampang ditebak, kwalitas karya yang kita persiapkan ada di segala lini itu. Merujuk kepada daerah-daerah lain yang kepariwisataannya baik bahkan boleh dikatakan maju. Di samping kehidupan berkeseniannya yang terkelola dengan baik, masing-masing daerah itu juga mempunyai program dan dukungan dana yang jelas untuk iven-ivennya. Bagaimana dengan kota Batam?.
Terus ada program terbaru dari Dinas Pariwisata kota Batam yang konon kabarnya telah diprogram untuk satu tahun kedepan dalam rangka menyongsong Visit Batam 2010 dengan tajuk ”pentas seni bulanan”. Pertunjukan ini sudah masuk kali ke dua. Adapun yang pertama di adakan di Tanjung Riau dengan beberapa materi sebut: tari kreasi baru yang berakar umbi dari seni tradisi melayu, puisi dari penyair-penyair handal kota ini, komposisi musik yang mengadopsi dari beberapa elemen tradisi namun sayang tidak tergarap dengan baik, thetaer yang lebih kepada celoteh-celoteh di warung yang diangkat ke atas panggung yang dibalut dengan isu-isu central saat ini seperti pemilu dan lain sebagainya. Pertunjukan bulan ke dua di adakan di Batu Besar dengan materi yang tidak jauh dari yang pertama. Yang berbeda konon kabarnya di sini terasa lebih meriah. Kegiatan pentas seni bulanan ini akan diadakan selama satu tahun kedepan dengan mengambil tempat secara bergilir di kecamatan-kecamatan yang ada di Kota Batam. Seberapa besar pagelaran ini memberi sumbangsih kepada program Visit Batam 2010 ini?. Perlu kita pikirkan bersama-sama, bahkan, mungkin termasuk salah satu yang diprioritaskan yaitu menciptakan/menggagas beberapa iven tahunan yang spektakuler. Pernyataan seperti ini bukan berarti selama ini di Batam tidak ada iven. Iven itu ada, tapi panitia penyelenggara (Dinas Pariwisata) selalu mengernyitkan jidatnya dengan masalah klasik yaitu masalah financial. Maka iven yang muncul di Batam seolah-olah dilakukan setengah hati, setengah duit, setengah perasaan dan setengah-setengah yang lainnya. Maka sebuah kewajaran bila hasilnya juga setengah-setengah.
Apa yang hendak dikata. Di tengah situasi serba setengah-setengah ini pewarisan nilai-nilai tradisi tidak dilanjutkan ke yang muda-muda (berikutnya) dikawatirkan kehidupan seni tradisi akan punah, tentu akan sulit bagi kita membayangkan kebudayaan Indonesia di masa yang akan datang. Bentuk yang bagaimana yang akan ditemui jika sumber tradisi yang merupakan mata air terbentuknya kebudayaan baru Indonesia tidak mempunayi landasan yang jelas. Sementara proses mem-“barat”nya generasi muda kita terasa sulit untuk dibendung. Dilain pihak, sebuah tradisi mendesak pula untuk di rubah, karena tradisi tersebut tidak dapat memuaskan seluruh pendukungnya, namun, tradisi tidak pula bisa berubah dengan sendirinya, oleh karenanya tradisi memberi peluang untuk di ubah dan membutuhkan seseorang untuk melakukan perubahan itu. Kalau kita mengandalkan orang-orang tradisi untuk melakukan perubahan ini, sudah jelas mereka punya kemampuan yang terbatas dari segi imajinasi, dan keberanian. Putar sana putar sini, akhirnya muara itu tetap ada di Dinas Pariwisata, Dewan Kesenian Kota Batam dan Seniman sebagai pelaku utama. Sedangkan aktor utamanya (masalah finansialnya) tanya sana dengan pembuat dan penggagas perda, mumpung masih segar bugar. SUAI???
Selengkapnya...