Rabu, 16 Desember 2009

pariwisata

PARIWISATA DAN SENI PERTUNJUKAN
Oleh: Faisal Amri, S.Pd
Guru SMA N 4 Batam

ESKALASI Visit Batam 2010 dipenghujung tahun ini semakin riuh saja. Prediksi kecemasan, yang berujung pesimistis terkuak bak meteor dibeberapa media. Permasalahan yang diungkai masyarakatpun sangat komplek. Salah satunya adalah, mereka mempertanyakan kepada instansi terkait, apa yang hendak dijual oleh Batam pada program Visit Batam 2010 ini. Kita yakini, pertanyaan ini tidak mengandung tendensi apa-apa, melainkan kegelisahan masyarakat yang memang secara tidak langsung merasa terlibat dalam menyukseskan Visit Batam ini. Di sisi lain, di tengah keterbatasan finansial, dan bahkan sampai dengan sumber daya manusia pihak Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Batam telah berusaha untuk tidak berjalan sendiri, untuk itu, ianya sering mengundang pihak yang berkompeten untuk duduk bersama mencari formula yang pas, sehingga apa yang menjadi target bisa dicapai dengan kalkulasi persentase.

Kurang dari satu bulan, tahun ini akhirnya sampai juga ke garis finis. Program yang telah di tabuh setahun yang lalu siap tidak siap harus tetap diusung. Menyadari hal ini, Ibarat sebuah seni pertunjukan, tentulah tehnik muncul akan menjadi prioritas, mau tidak mau program ini akan benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Oleh karenanya, kepiawaian, kejelian dan kepekaan seorang kreator akan menjadi penentu.

Membahas pariwisata secara tidak langsung kita juga membicarakan masalah seni tradisi serta pelestarian nilai-nilai tradisional itu sendiri. Jika kita posisikan seni tradisional sebagai ikon suatu daerah untuk kepariwisataan di Kota Batam, seolah-olah kita dihadapkan kepada tembok yang tinggi dan besar, sebab melestarikan budaya tradisional saat ini, sama artinya dengan melawan arus tehnologi dan informasi.

Kata pelestarian sudah acapkali kita dengar, melestarikan budaya yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat, apalagi di tengah masyarakat majemuk seperti kota Batam ini tidak bisa selesai dalam pidato serta forum yang panjang dan fantastik. Kita tidak lagi membutuhkan kata-kata gombal yang menyuguhkan beribu tiori, namun yang sangat mendesak untuk dilakukan adalah realisasi dari pelestarian dari nilai-nilai itu. Misalnya, bagaimana kita bisa menghargai seniman tradisi dan menciptakan iklim yang kondusif buat mereka untuk mengembangkan diri sekaligus akan menunjang kreativitas kesenian itu sendiri. Masalah utama yang kita hadapi adalah, kita masih setengah hati untuk berbuat.

Perkembangan seni pertunjukan dalam kaitannya dengan pariwisata haruslah merupakan kegiatan manusia yang memiliki nilai lebih. Dan nilai lebih itu yang seharusnya menjadi daya tarik wisatawan atau penonton untuk menyaksikannya. Artinya, adalah bagaimana kita bisa memberikan informasi, “menjual”, atau “memasarkan” nilai lebih itu kepada wisatawan. Disinilah dituntut “public relation” yang gesit, terampil dan cerdik menawarkan “seni pertunjukannya” kepada calon penontonnya, adalah merupakan seni tersendiri. Jika melihat ke daerah-daerah yang termasuk tujuan wisatawan di Indonesia, pada umumnya suatu daerah tersebut menawarkan kegiatan pesta seni rakyat yang dibungkus dengan tehnik kemasan yang modern. Sehingga pesta seni tersebut tidak hanya diperuntukan kalangan wisatawan mancanegara, akan tetapi juga diminati oleh masyarakat setempat.

Pertanyaannya, Batam hendak membuat konsep seni pertunjukan yang bagaimana?. Mewujudkan keinginan wisatawan?. Mengenai Bali merupakan pengecualian dengan alasan bahwa kesenian di sana menyatu dengan agama serta adat istiadat masyarakat pendukungnya. Lain lagi dengan Irian Jaya sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Sardono W Kusumo (koreografer kondang) mengatakan di Irian Jaya mereka memisahkan antara tarian yang mengacu kepada kepercayaan dan adat dibedakan dengan tarian yang khusus mereka siapkan untuk turis. Dan sekarang, bagaimana dengan perkembangan seni pertunjukan dalam kaitannya dengan pariwisata daerah ini?. Di sini akan muncul faktor tawar menawar (bargaining) yang menentukan apakah seniman yang terlibat dalam seni pertunjukan itu memiliki integritas terhadap nilai-nilai seni atau akan larut kepada budaya hiburan belaka.

Tujuan pariwisata di bidang sosial budaya adalah upaya melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai budaya bangsa. Di lain pihak agama dan adat masih berdiri dengan kokoh dan berakar di tengah masyarakatnya. Oleh karenanya, perkembangan seni pertunjukan, kaitannnya dengan pariwisata di kawasan ini harus tetap mengacu kepada upaya melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai budaya lingkungannya di satu pihak dan juga ruangan bagi seniman untuk berekspresi kreatif, inovatif, dilain pihak, sekaligus menggalakan penonton atau wisatawannya dengan membagi pengalaman estetik sebagai imbalan nilai materi yang berimbang antara seni pertunjukan dan penontonnya, pariwisata dan wisatawannya. Akhirnya perkembangan seni pertunjukan dalam kaitannya dengan pariwisata yang paling ideal adalah saling mengisi secara berimbang, saling menerima dan saling memberi.
Merujuk kepada daerah-daerah lain yang kepariwisataannya baik bahkan boleh dikatakan maju. Di samping kehidupan berkeseniannya yang terkelola dengan baik, masing-masing daerah itu juga mempunyai program dan dukungan dana yang jelas untuk iven-ivennya. Bagaimana dengan kota Batam?.
Perlu kiranya dipikirkan oleh pihak terkait, bahkan, mungkin termasuk salah satu yang diprioritaskan yaitu menciptakan atau menggagas beberapa iven tahunan yang spektakuler yang didukung oleh kesiapan dana dan fasilitas pertunjukan yang memadai. Pernyataan seperti ini bukan berarti selama ini di Batam tidak ada iven. Iven itu ada, tapi tidak diikuti oleh faktor pendukung, maka, akhirnya panitia penyelenggara selalu mengernyitkan jidatnya dengan masalah klasik (finansial). Maka iven yang muncul di Batam terkesan seolah-olah dilakukan setengah hati, setengah duit, setengah perasaan dan setengah-setengah yang lainnya. Maka sebuah kewajaran bila hasilnya juga setengah-setengah, ini idealnya barangkali.

Apa yang hendak dikata. Di tengah situasi serba setengah ini pewarisan nilai tradisi tidak dilanjutkan ke yang muda (berikutnya) dikawatirkan seni tradisi akan punah, tentu akan sulit bagi kita membayangkan kebudayaan Indonesia di masa yang akan datang. Bentuk yang bagaimana yang akan ditemui jika sumber tradisi yang merupakan mata air terbentuknya kebudayaan baru Indonesia tidak mempunyai landasan yang jelas. Sementara proses mem-“barat”nya generasi muda kita terasa sulit untuk dibendung. Dilain pihak, sebuah tradisi mendesak pula untuk di rubah, karena tradisi tersebut tidak dapat memuaskan seluruh pendukungnya, namun, tradisi tidak pula bisa berubah dengan sendirinya, oleh karenanya tradisi memberi peluang untuk di ubah dan membutuhkan seseorang untuk melakukan perubahan itu. Kalau kita mengandalkan orang-orang tradisi untuk melakukan perubahan ini, sudah jelas mereka punya kemampuan yang terbatas dari segi imajinasi, dan keberanian. Putar sana putar sini, akhirnya muara itu tetap ada di Dinas Pariwisata, Dewan Kesenian Kota Batam dan Seniman di daerah ini. Sedangkan aktor utamanya (masalah finansial) tanya sana dengan pembuat dan penggagas perda, mumpung masih segar bugar. Bagaimana pak Guntur, SUAI???

******

Tidak ada komentar:

Posting Komentar