POTRET PENDIDIKAN PASCA SEKOLAH GRATIS
(Bersempena peringatan hari Guru dan PGRI ke 64)
Oleh: Faisal Amri, S.Pd
Guru SMA Negeri 4 Batam
ENTAH berapa miliar dana yang dihabiskan untuk membiayai iklan “sekolah gratis” yang ditayangkan di stasiun TV nasional selama ini. Sebagai gambaran yang saya kutip dari berbagai media menyebutkan bahwa; biaya iklan mencapai 30-an juta per satu slot (30 detik). Oleh karena iklan ini merupakan program pemerintah dalam rangka mensosialisasikan kepada masyarakat luas, kita asumsikan biaya iklan tersebut mendapat discount. Anggaplah per hari ada 10 slot dengan biaya rata-rata hanya Rp 15 juta per slot. Ada 11 stasiun TV nasional dan kita hanya menggunakan rata-rata 50% nya yakni 55 slot per hari untuk 11 stasiun TV nasional. Maka biaya per hari untuk iklan “sekolah gratis” di TV adalah Rp 825 juta. Seminggu Rp 5.77 miliar lebih dan sebulannya berapa?, silakan ambil kalkulator, pencet, dan kalikan sendiri, saya tahu betapa kepala anda akan bergerak kekiri dan kekanan dengan sendirinya. Sebuah angka yang fantastis bukan?. Ingat, ini hanya iklan sekolah gratis di TV, belum di koran, radio dan media lainnya.
Coba cermati iklan jilid 1 ini, walaupun bapaknya sopir angkot, anaknye bise menjadi pilot. Walaupun Bapaknya loper koran, anaknye bise jadi wartawan. Sekolah gratis, mau tak?. Iklan ini mendadak top hingga pelosok negeri. Lalu apa lacur, iklan sekolah gratis itu oleh sebagian besar masyarakat diartikan bahwa, baju seragam, sepatu, tas sekolah, buku pelajaran, buku tulis bahkan sampai ke transportasi di tanggung oleh pemerintah. Opini sesat ini terus mengalir bak air bah di tengah masyarakat, ianya tidak bisa dibendung. Bahkan, yang membuat kita berdecak kagum, isu sekolah gratis telah melahirkan banyak pahlawan di negeri ini. Sebagai bukti, semakin banyak saja orang yang pandai berbicara dan bersikeras minta di dengar suaranya. Terkadang, mereka juga suka menikmati suaranya sendiri, akan tetapi tuli dan tidak peduli dengan suara orang lain.
Kemudian muncul iklan jilid 2 yang sontak membingungkan masyarakat. Penekanannya iklan jilid 2 ini adalah “pungutan tidak boleh dilakukan oleh pihak sekolah, akan tetapi sumbangan diperbolehkan. Benang merah yang bisa ditarik dari iklan jilid 2 ini adalah secara eksplisit negara besar yang bernama Indonesia ini terbukti dan sangat menyadari sekali, bahwa ianya belum sanggup untuk mewujudkan program sekolah gratis itu. Kalau begitu apa sesungguhnya tujuan iklan sekolah gratis ini di tayangkan?, ENTAHLAH.
Output dari pencanangan program sekolah gratis ini telah terbukti ampuh memprovokasi masyarakat. Hal ini dapat kita lihat, salah satunya adalah ketidak percayaan masyarakat pada institusi terkait. Mirisnya lagi, mulai dari kepala sekolah hingga guru “kene pelasah” di lapangan, oleh karena (telah) di anggap membuat kebijakan yang tidak populer di tengah masayarakat. Kebijakan tidak popular tersebut adalah berupa pembelian baju seragam, buku pelajaran, uang komite dan lain sebagainya. Permasalahan ini semakin runyam ketika masyarakat menganggap sekolah gratis itu mulai dari Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Sementara temuan di lapangan berbicara lain. Apa yang terjadi?, sangat mudah ditebak, pihak sekolah dalam hal ini terutama kepala sekolah akan dituduh korupsi, memperkaya diri sendiri. Tidak sampai di situ, di tengah kemajuan informasi dan teknologi saat ini, akses masyarakat kesemua lini tidaklah sulit. Intinya, hanya dengan bermodalkan Rp125 per sms semua permasalahan dalam waktu singkat bak meteor terangkat dengan cepatnya kepermukaan.
Ke esokan harinya, media elektronik dan cetak seperti melantunkan tembang kematian, tanggapan demi tanggapan digali oleh sang kuli disket keberbagai pihak, di sisi lain orang yang dimintai tanggapan dan pendapatnya ”tuduh sana tuduh sini”, ”hujat sana hujat sini”. Tidak sampai disitu, tanpa komando acara mimbar bebas-pun mengudara di pagi hari selama dua jam melalui salah satu radio terkemuka di kota ini. Kenyataan seperti ini merupakan buah dari demokrasi yang telah dicapai dengan bersusah payah, bahkan, nyawa taruhannya, itulah yang dilakukan oleh anak negeri ini. Barangkali ini terkesan berlebihan, tapi memang begitulah kenyataannya. Intimidasi yang berlebihan secara terus menerus pada salah satu institusi, termasuk ke sekolah dan guru saya meyakini tidak akan membuat para guru apatis terhadap anak didiknya, tapi kita perlu dan boleh juga risau, sejauh mana para guru bisa bertahan dari suara sumbang itu. Agak aneh dan bahkan lucu memang, bobroknya sistim pendidikan yang ada di negeri ini, seolah-olah hanya karena keteledoran para pendidik semata. Padahal kita semuanya tahu bahwa para pendidik identik dengan para prajurit. Ianya berjalan berdasarkan atas perintah, kebijakan dan jika ada seorang atau dua prajurit melakukan tindakan diluar prosedur, maka ada hukum untuk menyelesaikan benang kusut tersebut. Semestinya ini yang harus kita kawal bersama-sama. Untuk itu, sudah saatnya sebuah peraturan daerah yang mengatur tentang pendidikan dipikirkan oleh pihak-pihak berwenang, agar permasalahan yang muncul tidak selalu itu ke itu saja. Selama belum ada produk hukum yang mengatur tentang semua itu, maka selama itu pulalah mimbar bebas akan terbuka di mana-mana. Di satu sisi kepala sekolah seperti meraba-raba dan menjadi manusia peragu dalam berbuat dan bertindak. Di sisi lain, kepada para pendidik yang separuh haknya diambil oleh sistim, diharapkan untuk tetap bisa menciptakan sumber daya manusia yang handal.
Paradigma pendidikan semakin tidak jelas. Bagaimana guru memandang murid, sebaliknya, bagaimana pula murid memandang gurunya yang selalu salah di mata orang tua mereka, kemudian apa peran orang tua wali murid dalam proses pendidikan. Karena, sekarang ini sekolah hampir saja bahkan mendekati sebuah lembaga atau yayasan penitipan anak. Sebagai contoh, permasalahan yang ditimbulkan oleh siswa, misalnya seperti melanggar tata tertib sekolah atau beberapa hari tidak masuk sekolah yang kemudian ditindaklanjuti dengan surat pemanggilan kepada orang tua siswa. Oleh orang tua kebanyakan, terkesan hanya mencari aman dengan menyerahkan penyelesaian kasus anaknya kepada guru. Celakanya, ketika guru memberikan sanksi atas pelanggaran yang telah dilakukan oleh anaknya, justru orang tua tidak menerima dan menilai guru tidak bijak, luar biasa bukan?. Ini adalah sebuah paradigma baru yang sedang berkembang dengan mekarnya di tengah kehidupan masyarakat kita dewasa ini.
Sangat disayangkan, wacana yang berkembang selama ini, pihak kepala sekolah dan majelis guru selalu berada di pihak yang salah. Jujur saja, kesimpulan ini benar-benar tidak adil, kenapa?, sekali lagi dikatakan bahwa ianya (pendidik) merupakan sebuah mata rantai yang jelas-jelas tidak berdiri sendiri. Mereka tidak dalam rangka membuat kebijakan sesukanya, lalu bermuara dengan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Mestinya, peran dan posisi pendidik akan lebih baik dan bermakna jika dikaji secara jernih dan proporsional. Sudahkah ini dilakukan secara maksimal?.
Perda Pendidikan mungkinkah?
Beragamnya permasalahan yang timbul di dunia pendidikan saat ini, bukanlah barang baru. Bahkan termasuk pengelolaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk SD dan SMP. Runyam dan melebarnya isu sensitif akan permasalahan itu dikarenakan tidak adanya aturan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Kesimpang-siuran kebijakan dari masing-masing sekolah seputar segala pembiayaan yang ditimbulkan, telah menjadi pemicu kegelisahan di kalangan masyarakat. Untuk itu, jika kita punya keinginan dan niat yang sama untuk memajukan pendidikan, lebih jauh agar supaya disparitas satu sekolah dengan sekolah yang lainnya tidak terlalu mencolok, maka diperlukan perda penyelengaraan pendidikan. Adapun kegunaan dari perda ini adalah sebagai pedoman umum bagi pihak sekolah. Paling tidak dengan adanya perda pendidikan akan bisa menjembatani pemahaman masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan. Kita meyakini, kehadiran perda akan menjadi solusi ampuh untuk memperkecil kecurangan yang selama ini disangsikan oleh semua pihak, jikalau memang ditemukan ada pihak atau oknum yang telah membuat kebijakan diluar prosedur. Tidak ada pilihan lain, perda yang mengatur tentang pendidikan merupakan harga mati yang tidak boleh di tawar-tawar lagi, pertanyaannya, mungkinkah?.
Keluh kesah ini saya persembahkan dalam rangka memperingati hari Guru dan HUT PGRI yang ke 64 Republik Indonesia, barangkali kegelisahan yang saya sampaikan mungkin dirasakan juga oleh jutaan guru di negeri ini. Tidak ada tendensi apa-apa, melainkan, saya hanya ingin mengajak dan memotivasi kita semua agar bersama-sama memikirkan solusinya, Harapan kita tentunya generasi pelurus bangsa ini bisa mendapatkan yang terbaik, sekalipun secara finansial masih banyak para orang tua siswa yang tidak mampu secara ekonomi. Semoga saja pemerintah kedepannya memberi bukti nyata, tidak lagi sebatas retorika. Dilain pihak, kepada masyarakat kita berharap lebih baik ”menjadi orang miskin yang kaya” dari pada ”orang kaya yang miskin”. Sedangkan kepada para guru kita berharap, guru tidak hanya pemberi informasi dalam bentuk ceramah dan buku teks, melainkan guru mampu berperan sebagai fasilitator, tutor dan sekaligus pembelajar. Dan yang lebih penting lagi adalah, guru harus bisa membuat para peserta didiknya mempunyai cita-cita. Hanya ini syarat sebuah kemajuan. Seperti kata Robert F. Kennedy, “Kemajuan merupakan kata yang merdu. Tetapi perubahanlah penggeraknya dan perubahan mempunyai banyak musuh.”
Selengkapnya...
Rabu, 16 Desember 2009
pendidikan
pariwisata
PARIWISATA DAN SENI PERTUNJUKAN
Oleh: Faisal Amri, S.Pd
Guru SMA N 4 Batam
ESKALASI Visit Batam 2010 dipenghujung tahun ini semakin riuh saja. Prediksi kecemasan, yang berujung pesimistis terkuak bak meteor dibeberapa media. Permasalahan yang diungkai masyarakatpun sangat komplek. Salah satunya adalah, mereka mempertanyakan kepada instansi terkait, apa yang hendak dijual oleh Batam pada program Visit Batam 2010 ini. Kita yakini, pertanyaan ini tidak mengandung tendensi apa-apa, melainkan kegelisahan masyarakat yang memang secara tidak langsung merasa terlibat dalam menyukseskan Visit Batam ini. Di sisi lain, di tengah keterbatasan finansial, dan bahkan sampai dengan sumber daya manusia pihak Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Batam telah berusaha untuk tidak berjalan sendiri, untuk itu, ianya sering mengundang pihak yang berkompeten untuk duduk bersama mencari formula yang pas, sehingga apa yang menjadi target bisa dicapai dengan kalkulasi persentase.
Kurang dari satu bulan, tahun ini akhirnya sampai juga ke garis finis. Program yang telah di tabuh setahun yang lalu siap tidak siap harus tetap diusung. Menyadari hal ini, Ibarat sebuah seni pertunjukan, tentulah tehnik muncul akan menjadi prioritas, mau tidak mau program ini akan benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Oleh karenanya, kepiawaian, kejelian dan kepekaan seorang kreator akan menjadi penentu.
Membahas pariwisata secara tidak langsung kita juga membicarakan masalah seni tradisi serta pelestarian nilai-nilai tradisional itu sendiri. Jika kita posisikan seni tradisional sebagai ikon suatu daerah untuk kepariwisataan di Kota Batam, seolah-olah kita dihadapkan kepada tembok yang tinggi dan besar, sebab melestarikan budaya tradisional saat ini, sama artinya dengan melawan arus tehnologi dan informasi.
Kata pelestarian sudah acapkali kita dengar, melestarikan budaya yang hidup dan berkembang di tengah masyarakat, apalagi di tengah masyarakat majemuk seperti kota Batam ini tidak bisa selesai dalam pidato serta forum yang panjang dan fantastik. Kita tidak lagi membutuhkan kata-kata gombal yang menyuguhkan beribu tiori, namun yang sangat mendesak untuk dilakukan adalah realisasi dari pelestarian dari nilai-nilai itu. Misalnya, bagaimana kita bisa menghargai seniman tradisi dan menciptakan iklim yang kondusif buat mereka untuk mengembangkan diri sekaligus akan menunjang kreativitas kesenian itu sendiri. Masalah utama yang kita hadapi adalah, kita masih setengah hati untuk berbuat.
Perkembangan seni pertunjukan dalam kaitannya dengan pariwisata haruslah merupakan kegiatan manusia yang memiliki nilai lebih. Dan nilai lebih itu yang seharusnya menjadi daya tarik wisatawan atau penonton untuk menyaksikannya. Artinya, adalah bagaimana kita bisa memberikan informasi, “menjual”, atau “memasarkan” nilai lebih itu kepada wisatawan. Disinilah dituntut “public relation” yang gesit, terampil dan cerdik menawarkan “seni pertunjukannya” kepada calon penontonnya, adalah merupakan seni tersendiri. Jika melihat ke daerah-daerah yang termasuk tujuan wisatawan di Indonesia, pada umumnya suatu daerah tersebut menawarkan kegiatan pesta seni rakyat yang dibungkus dengan tehnik kemasan yang modern. Sehingga pesta seni tersebut tidak hanya diperuntukan kalangan wisatawan mancanegara, akan tetapi juga diminati oleh masyarakat setempat.
Pertanyaannya, Batam hendak membuat konsep seni pertunjukan yang bagaimana?. Mewujudkan keinginan wisatawan?. Mengenai Bali merupakan pengecualian dengan alasan bahwa kesenian di sana menyatu dengan agama serta adat istiadat masyarakat pendukungnya. Lain lagi dengan Irian Jaya sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Sardono W Kusumo (koreografer kondang) mengatakan di Irian Jaya mereka memisahkan antara tarian yang mengacu kepada kepercayaan dan adat dibedakan dengan tarian yang khusus mereka siapkan untuk turis. Dan sekarang, bagaimana dengan perkembangan seni pertunjukan dalam kaitannya dengan pariwisata daerah ini?. Di sini akan muncul faktor tawar menawar (bargaining) yang menentukan apakah seniman yang terlibat dalam seni pertunjukan itu memiliki integritas terhadap nilai-nilai seni atau akan larut kepada budaya hiburan belaka.
Tujuan pariwisata di bidang sosial budaya adalah upaya melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai budaya bangsa. Di lain pihak agama dan adat masih berdiri dengan kokoh dan berakar di tengah masyarakatnya. Oleh karenanya, perkembangan seni pertunjukan, kaitannnya dengan pariwisata di kawasan ini harus tetap mengacu kepada upaya melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai budaya lingkungannya di satu pihak dan juga ruangan bagi seniman untuk berekspresi kreatif, inovatif, dilain pihak, sekaligus menggalakan penonton atau wisatawannya dengan membagi pengalaman estetik sebagai imbalan nilai materi yang berimbang antara seni pertunjukan dan penontonnya, pariwisata dan wisatawannya. Akhirnya perkembangan seni pertunjukan dalam kaitannya dengan pariwisata yang paling ideal adalah saling mengisi secara berimbang, saling menerima dan saling memberi.
Merujuk kepada daerah-daerah lain yang kepariwisataannya baik bahkan boleh dikatakan maju. Di samping kehidupan berkeseniannya yang terkelola dengan baik, masing-masing daerah itu juga mempunyai program dan dukungan dana yang jelas untuk iven-ivennya. Bagaimana dengan kota Batam?.
Perlu kiranya dipikirkan oleh pihak terkait, bahkan, mungkin termasuk salah satu yang diprioritaskan yaitu menciptakan atau menggagas beberapa iven tahunan yang spektakuler yang didukung oleh kesiapan dana dan fasilitas pertunjukan yang memadai. Pernyataan seperti ini bukan berarti selama ini di Batam tidak ada iven. Iven itu ada, tapi tidak diikuti oleh faktor pendukung, maka, akhirnya panitia penyelenggara selalu mengernyitkan jidatnya dengan masalah klasik (finansial). Maka iven yang muncul di Batam terkesan seolah-olah dilakukan setengah hati, setengah duit, setengah perasaan dan setengah-setengah yang lainnya. Maka sebuah kewajaran bila hasilnya juga setengah-setengah, ini idealnya barangkali.
Apa yang hendak dikata. Di tengah situasi serba setengah ini pewarisan nilai tradisi tidak dilanjutkan ke yang muda (berikutnya) dikawatirkan seni tradisi akan punah, tentu akan sulit bagi kita membayangkan kebudayaan Indonesia di masa yang akan datang. Bentuk yang bagaimana yang akan ditemui jika sumber tradisi yang merupakan mata air terbentuknya kebudayaan baru Indonesia tidak mempunyai landasan yang jelas. Sementara proses mem-“barat”nya generasi muda kita terasa sulit untuk dibendung. Dilain pihak, sebuah tradisi mendesak pula untuk di rubah, karena tradisi tersebut tidak dapat memuaskan seluruh pendukungnya, namun, tradisi tidak pula bisa berubah dengan sendirinya, oleh karenanya tradisi memberi peluang untuk di ubah dan membutuhkan seseorang untuk melakukan perubahan itu. Kalau kita mengandalkan orang-orang tradisi untuk melakukan perubahan ini, sudah jelas mereka punya kemampuan yang terbatas dari segi imajinasi, dan keberanian. Putar sana putar sini, akhirnya muara itu tetap ada di Dinas Pariwisata, Dewan Kesenian Kota Batam dan Seniman di daerah ini. Sedangkan aktor utamanya (masalah finansial) tanya sana dengan pembuat dan penggagas perda, mumpung masih segar bugar. Bagaimana pak Guntur, SUAI???
******
Selengkapnya...